BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kemajuan
zaman yang sangat pesat menuntut adanya kemajuan dalam bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi sebagai faktor penggerak utama, khususnya
dalam memasuki pasar global. Salah satu contoh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah dengan adanya pembangunan.
Salah
satu contoh kebutuhan manusia sebagai dampak perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah diantaranya mengenai semen. Manusia
membutuhkan bangunan yang memiliki kekuatan menahan tekanan dan dapat
dibuat sesuai selera baik sebagai tempat untuk beristirahat maupun untuk
beraktifitas lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini maka diperlukan
bahan perekat, dalam hal ini semen.
Semen
merupakan suatu perekat anorganik yang dapat merekatkan bahan-bahan
padat menjadi satu kesatuan massa yang kokoh dan dapat membentuk suatu
bangunan dengan berbagai macam model. Kemampuan semen sebagai perekat
ini merupakan contoh konkrit perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi yang dengan perlakuan tertentu bahan-bahan dari alam ( tanah
liat dan batu serta bahan-bahan pembantu lainnya ) dicampur dengan
komposisi tertentu sehingga membentuk semen.
Seiring
dengan bertumbuhkembangnya industri semen yang dipacu oleh pertumbuhan
pembangunan maka semakin banyak pula industri semen yang ada di dunia.
Tak dapat dihindari pertumbuhan industri semen ini akan berdampak bagi
lingkungan, khususnya mengenai limbah-limbah industri yang akhir-akhir
ini mendapatkan perhatian pemerintah. Oleh karena itu pemerintah
berusaha mengembangkan industri yang ramah lingkungan dan mengembangkan
penelitian dalam penggunaan dan peningkatan daya guna limbah industri
serta pemanfaatan sumber daya alam sebaik mungkin.
Masalah yang ditimbulkan dari adanya industri semen bukan hanya dari emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari berbagai proses, juga sumber daya alam yang terbatas. Alam tidak selamanya dapat menyediakan bahan baku yang dibutuhkan. Untuk itu penggunaan sumber daya alam harus seefektif mungkin.
Demi mengurangi emisi CO2
dari pabrik semen, yaitu melalui produksi semen jenis baru yaitu
blended hydraulic cement jenis Portland Composite Cement PCC (semen
portland komposit). Semen komposit mulai diluncurkan tahun 2005, sejalan
dengan mulai dilaksanakannya proyek CDM (Clean Development Mechanism
–Mekanisme Pembangunan Bersih) PT. Semen Tonasa (Persero) yang disebut
sebagai Proyek Blended Cement, dalam rangka partisipasinya sebagai warga
dunia untuk menurunkan pemanasan global.
Sumber
daya alam yang digunakan dalam proses pembuatan semen merupakan sumber
daya alam yang tak dapat diperbaharui. Sebagai perusahaan yang bijak,
penggunaan sumber daya ini harus secara efisien tanpa mengurangi
kualitas dari hasil produksi yang dihasilkan. Untuk itu pemilihan sumber
daya yang tepat dinilai penting untuk produktivitas perusahaan. Tetapi tidak selamanya alam memberikan sumber daya dengan komposisi sesuai keinginan.
1.2. Identifikasi Masalah
Batubara merupakan salah satu bahan bakar yang digunakan dalam proses pembuatan klinker (bahan campuran pembentuk semen) dalam kiln. Untuk memenuhi komposisi klinker sesuai yang ditargetkan diperlukan pengaturan komposisi kiln feed.
Kandungan ash yang merupakan sisa pembakaran batubara dalam kiln yang bersifat pozzolan dapat mempengaruhi kualitas klinker yang dihasilkan. Dengan menggunakan komposisi yang tepat antara batubara dan kiln feed dapat menghasilkan klinker yang berkualitas. Untuk itu pemilihan batu bara yang tepat dan pengaturan komposisi kiln feed dapat menjaga target kualitas dari klinker.
1.3. Batasan Masalah
Data
ash batubara yang digunakan sebagai bahan analisa terdiri dari 12
variabel dengan kandungan yang berbeda. Metode yang digunakan sebagai
bahan analisa hanya terbatas pada penetapan batubara.
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1. TEORI SEMEN
3.1.1. Sejarah Semen dan Perkembangan Semen
Kata
“semen” berasal dari bahasa latin Caementum yang artinya perekat.
Semen sudah dikenal sejak zaman dahulu kala yang dibuat dari kalsinasi
kapur yang tidak murni oleh bangsa Mesir untuk konstruksi pyramid. Orang
Yunani dan Romawi menggunakan slug vulkanik yang berasal dari gunung
merapi yang letaknya dekat Vonselly disekitar gunung Visivius yang
dicampur kapur gamping (Quicklime) dan gipsum sebagai semen, dan diberi
nama “Pozzoluoana/ Pozzolan Cement”.
No
|
Nama Penemu
|
Tahun
|
Kebangsaan
|
Hasil Temuan
|
1
|
John Smeaton
|
1756
|
Inggris
|
Hydraulic Cement dan memakai bahan tersebut untuk membangun kembali gedung Eddystone Light House.
|
2
|
Joseph Parker
|
1796
1802
|
Kent(Inggris)
Prancis
|
Butiran-butiran (septaria) dari batu kapur yang dipakai untuk memproduksi semen.
Memproduksi semen dari butiran (nodule).
|
4
|
Edgar Dobbs
|
1810
|
Inggris
|
Membuat semen dari batu kapur.
|
5
|
L.J Vicat
|
1813
|
Prancis
|
Membuat semen yang tahan air, harus ditambahan batuan yang mengandung alumina silika yang mempunyai komposisi tertentu.
|
6
|
James frost
|
1822
|
Inggris
|
Mulai membuat semen dari batu kapur dan tanah liat.
|
7
|
Joseph Aspidin
|
1824
|
Inggris
|
Membuat semen modern yang terbuat dari batu kapur dan tanah liat setelah melalui proses pembakaran.
|
8
|
James Frost
|
1825
1855
|
Swancombe
Pennsylavia
|
Mendirikan pabrik Semen Portland yang pertama berdiri di Inggris.
Mendirikan pabrik semen Portland di Belgia dan Jerman
|
9
|
David O. Saylor
|
1850
1871
1875
|
Pennsylavia
Pennsylavia
|
Menemukan
Semen Alam (Natural Cement) yang berupa batuan semen yang mengandung
alumina silika dan diproduksi dengan tungku tegak di USA dan lebih
kuat dari pada Hidroaulic Cement
Memproduksi Semen Portland di USA.
Memproduksi Semen Portland di Jepang.
|
10
|
Frederick Ransome
|
1885
|
Memperkenalkan
Rotary Kiln dalam tekhnologi pembuatan semen dengan kapasitas
produksi 50 ton Klinker per hari. Panjang Kilnnya adalah 25 meter
dengan diameter 2 meter.
|
Pada
tahun 1824, Joseph Aspidin (Inggris) yang mendapat hak paten pertama
kali atau proses pembuatan semen hasil penemuannya. Aspidin melakukan
proses kalsinasi sampai tingkat tertentu terhadap campuran batu kapur
dan tanah liat. Semen ini dinamakan “Portland” karena Beton yang dibuat
dengan semen ini sangat menyerupai batuan-batuan alam yang terdapat di
pulau Portland, Inggris.
Di
Indonesia pabrik semen pertama yaitu: Sumatera Portland Werk didirikan
di Indarung, Padang dan Sumetera Barat. Pada tahun 1910 kemudian
menyusul di Gresik, Jawa Timur dan pada tahun 1957 disusul dengan
berdirinya pabrik Semen Tonasa, Sulawesi Selatan dan pada tahun 1968,
pabrik Semen Cibinong dan Indocement pada tahun 1975, Semen Bosowa pada
tahun 1998 dan pabrik semen lainnya, sehingga saat ini di Indonesia
terdapat 10 pabrik semen dengan kapasitas terpasang ± 27,5 juta ton
pertahun.
3.1.1. Defenisi dan Jenis-Jenis Semen Portland
A. Semen dapat didefenisikan sebagai berikut :
Secara
umum semen merupakan suatu bahan perekat yang dapat menyatukan benda
padat menjadi satu kesatuan yang kokoh,yang terdiri dari senyawa oksida
Calsium dengan oksida Silika. Semen umumnya berbentuk tepung dengan
warna, jenis dan type semen bermacam-macam tergantung dari jenis bahan
penyusunan serta kegunaan dalam konstruksi bangunan
Jika
dalam pemakaiannya harus ditambah air, maka semen disebut semen
hidrolis. Semen adalah perekat suatu yang berbentuk halus jika
ditambahkan air akan terjadi reaksi hidrasi dan dapat mengikat
bahan-bahan padat menjadi satu kesatuan massa yang kokoh.
B. Adapun jenis-jenis semen antara lain sebagai berikut:
1. Semen Portland
Menurut SNI No. 15-2049 tahun 1994, semen portland adalah semen
hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak semen Portland
yang terdiri atas kalsium silikat yang bersifat hidrolis dan digiling
bersama-sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal
senyawa yang biasa adalah gypsum (CaSO4.2H2O) dan boleh ditambahkan bahan tambahan lain.
Menurut SNI No. 15-2049 tahun 1994, semen Portland diklasifikasikan dalam 5 (lima) jenis sebagai berikut :
· Tipe I (Ordinary Portland Cement)
Ordinary
Portland Cement adalah Semen Portland yang dipakai untuk segala macam
kontruksi apabila tidak diperlukan sifat-sifat khusus, misalnya
ketahanan terhadap sulfat, panas hidrasi, dan sebagainya. Ordinary
Portland Cement mempunyai C3S 59,3%, C2S 17%, C3A 8%, C4AF 11,9% dan komposisi limit sebgai berikut :
Tabel 3.3. Komposisi limit Semen Tipe I
Oksida
|
CaO
|
SiO2
|
Al2O3
|
Fe2O3
|
MgO
|
SO3
|
Komposisi % Berat
|
62.0
|
20.5
|
5.5
|
3.9
|
5.3
|
2.8
|
· Tipe II (Moderat Heat Portland Cement)
Moderat
Heat Portland Cement dalah Semen Portland yang dipakai untuk segala
macam kontruksi yang memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas
hidrasi sedang, biasanya digunakan untuk daerah pelabuhan dan bangunan
sekitar pantai, batasan kandungan sulfat yang direkomendasikan (sebagai
SO3) adalah 0,8 – 0,17 ppm unti ground water,125 ppm unit tanah. Moderat Heat Portland Cement mempunyai C3A 8%, C4AF 11,9% dan komposisi limit sebagai berikut :
Tabel 3.4. Komposisi limit Semen Tipe II
Oksida
|
CaO
|
SiO2
|
Al2O3
|
Fe2O3
|
MgO
|
SO3
|
Komposisi % Berat
|
66.0
|
21.5
|
5.5
|
3.9
|
5
|
2.7
|
· Tipe III (High Early Portland Cement)
High
Early Portland Cement dalah Semen Portland yang dipakai untuk
keadaan-keadaan darurat dan dipakai pada pengecoran untuk keadaan khusus
musim dingin, juga dipakai untuk produksi beton tekan. Semen tipe III
ini mempunyai kandungan C3S lebih tinggi dibanding semen
tipe lainnya sehingga lebih cepat mengeras dan lebih cepat mengeras dan
lebih cepat mengeluarkan kalor juga mempunyai pengembangan kekuatan awal
tinggi. High Early Portland Cement mempunyai C3S 35%, C2S 40%, C3A 15%, dan komposisi limit sebagai berikut :
Tabel 3.5. Komposisi limit Semen Tipe III
Oksida
|
CaO
|
SiO2
|
Al2O3
|
Fe2O3
|
MgO
|
SO3
|
Komposisi % Berat
|
65
|
20
|
4
|
0.55
|
6
|
4
|
· Tipe IV (Low Heat Portland Cement)
Low
Heat Portland Cement adalah Semen Portland yang dipakai untuk bangunan
dengan panas hidrasi rendah misalnya pada bangunan besar dan tebal, baik
sekali untuk mencegah keretakan. Semen tipe IV ini mempunyai kandungan
C3S dan C3A lebih rendah tetapi belite (C2S ) lebih banyak dibanding OPC. Sehingga beton yang dibuat dari semen ini mempunyai sifat :
Panas
hidrasi rendah, sehingga cocok untuk concerate construction. Kuat tekan
awal rendah, tetapi kuat tekan akhir hampir sama dengan OPC tahan
terhadap sulfat. Low Heat Portland Cement mempunyai C3S 35%, C2S 40%, C3A 7%, dan komposisi limit sebagai berikut
Tabel 3.6. Komposisi limit Semen Tipe IV
Oksida
|
CaO
|
SiO2
|
Al2O3
|
Fe2O3
|
MgO
|
SO3
|
Komposisi % Berat
|
63
|
21
|
5
|
6.5
|
6
|
2.3
|
· Tipe V (Sulfate Resistance Portland Cement)
Sulfate
Resistance Portland Cement adalah Semen Portland yang mempunyai
kekuatan tinggi terhadap sulfat dan mempunyai kandungan C3A lebih rendah dibandingkan semen tipe lainnya. Sering digunakan untuk bangunan di daerah dengan kadar sulfat. (sebagai SO3) tinggi yaitu 0,17 – 1,67 ppm until ground water,125 – 1250 ppm unit tanah. Sulfate Resistance Portland Cement mempunyai C3A 5%, dan komposisi limit sebagai berikut :
Tabel 3.7. Komposisi limit Semen Tipe V
Oksida
|
CaO
|
SiO2
|
Al2O3
|
Fe2O3
|
MgO
|
SO3
|
Komposisi % Berat
|
65
|
21
|
5
|
6.5
|
6
|
2.3
|
· Semen Turunan dari Semen Portland
Semen Non Portland terdiri atas :
a. Semen Portland Pozzoland
Pozzoland
adalah bahan yang mengandung senyawa silica dan alumina dimana bahan
pozzoland itu sendiri tidak mempunyai sifat seperti semen, akan tetapi
dalam bentuknya yang halus dan dengan adanya air, maka senyawa-senyawa
tersebut akan bereaksi membentuk kalsium aluminat hidrat yang bersifat
hidraulis
3CaO.Al2O3 + H2O 3CaO.Al2O3. 3H2O
Semen
Portland Pozzolan merupakan suatu bahan pengikat hidraulis yang dibuat
dengan menggiling bersama-sama terak semen Portland dan bahan yang
bersifat pozzoland, atau mencampur secara merata bibuk semen Portland
dan bubuk bahan lain yang mempunyai sifat pozzoland. Bahan pozzoland
ditambahkan besarnya antara 15-40%
b. Portland Blast Furnace Slag Cement
Portland
Blast Furnace Slag Cement adalah semen yang dibuat dengan cara
menggiling campuran klinker semen Portland dengan kerak dapur tinggi
(Blast Furnace Slag) secara homogen.
· Semen Non Portland
· Semen Alam (Natural Cement)
Semen Alam merupakan semen yang dihasilkan dari proses pembakaran batu kapur dan tanah liat pada suhu 850 – 1000 oC yang dibuat didalam tungku putar maupun gerak, kemudian tanah yang dihasilkan digiling menjadi semen halus.
· Semen Alumina Tinggi
Semen
Alumina Tinggi pada dasarnya adalah suatu semen kalsium aluminat yang
dibuat dengan melebur campuran batu gamping, bauksit, dan bauksit ini
biasanya mengandung oksida besi, silica, magnesia, dan ketakmurnian
lain. Cirinya terhadap air laut dan air yang mengandung sulfat lebih
baik.
· Semen Sorel
Semen
Sorel adalah semen yang dibuat melalui rekasi eksotermik larutan
magnesium klorida terhadap suatu ramuan magnesia yang didapat dari
kalsinasi magnesit dan magnesia dari larutan garam.
3MgO + MgCl2 + 11 H2O 3MgO.MgCl2 .11 H2O
Semen
Sorel mempunyai sifat yang keras dan kuat, mudah terserang air dan
sangat korosif. Penggunaaanya terutama sebagai lantai, dan sebagai dasar
pelantai dasar seperti ubin atau teras.
3.1.3. Komponen Penyusun Semen
A. Bahan Baku Semen
Pada
prinsipnya Bahan Baku utama dalam proses pembuatan semen hanya ada 2
yaitu batu kapur dan tanah liat sebab semua senyawa – senyawa utama
dalam semen berasal dari kedua bahan tersebut. Bila digunakan bahan
lainnya, maka bahan tersebut hanya sebagai bahan pengoreksi komposisi
saja.
1. Batu Kapur
Batu
Kapur merupakan sumber utama senyawa Kalsium. Batu kapur murni umumnya
merupakan kalsit atau aragonite yang secara kimia keduanya dinamakan
CaCO3. Senyawa Karbonat dan Magnesium dalam batu Kapur umumnya berupa dolomite (CaMg(CO3)2. Dalam proses pembuatan Semen, CaCO3
akan berubah menjadi oksida Kalsium (CaO) dan dolomite berubah bentuk
menjadi kristal oksida magnesium (MgO) bebas (Periclase) yang dapat
merendahkan mutu semen yang dihasilkan, sebab jika jumlah MgO bebas
melebihi 5% (berdasarkan SNI No. 15-2049 tahun 2004) maka bangunan yang
menggunakan semen tersebut hasilnya akan pecah – pecah.
2. Tanah Liat
Tanah
Liat merupakan sumber utama senyawa silikat. Disamping itu, juga
merupakan sumber senyawa – senyawa penting lainnya seperti senyawa besi
dan alumina. Dalam jumlah amat kecil kadang – kadang juga didapati
senyawa – senyawa alkali (Na dan K) yang dapat mempengaruhi mutu semen.
Senyawa-senyawa tersebut diatas dalam tanah liat umumnya terdapat dalam
bentuk kelompok-kelompok mineral, seperti :
1) Kelompok kaolomit (Al2O3.2SiO2.2H2O) terdiri dari kaolinit dickit, rakit dan alloysit.
2) Kelompok montmorillonit terdiri dari :
a) Montmorillonit = Al2O3.4SiO2.H2O + NH2
b) Nontronit = (Al2,Fe)2O3.3SiO2. NH3
c) Saponit = 2MgO. 3SiO2. NH2
3) Kelompok illit, K2O. MgO. Al2O3. SiO2
Selain mineral-mineral tersebut diatas, dalam tanah liat sering dijumpai juga SiO2 bebas dalam bentuk kuarsa, kalsit, pirit dan lemonit.
B. Bahan Baku Korektif
Bahan
Baku korektif adalah bahan baku yang dipakai hanya apabila pada
pencampuran bahan baku utama komposisi oksida – oksidanya belum memenuhi
persyaratan secara kualitatif dan kuantitatif.
Pada
umumnya, bahan baku korektif yang digunakan mengandung oksida silika,
oksida alumina dan oksida yang diperoleh dari pasir Silika (Sand), Tanah
Liat (Clay), dan Pasir Besi/Iron ore/ pyrite cinder. Misalnya,
kekurangan:
- CaO : bisa ditambahkan limestone, Marble (90% CaCO3).
- Al2O3: bisa ditambahkan tanah liat
- SiO2 : bisa ditambahkan quatz dan sand
- Fe2O3: bisa ditambahkan pasir besi, pyrite
a) Pasir Silika : Digunakan sebagai pengoreksi kadar SiO2 yang rendah dalam
tanah liat
b) Pasir Besi : Digunakan sebagai pengoreksi kadar Fe2O3 atau pengoreksi perbandingan antara Al2O3 dan Fe2O3.
c) Bauksit : Digunakan sebagai pengkoreksi kadar Al2O3 yang rendah dalam tanah liat.
Pada PT. Semen Tonasa bahan koreksi yang digunakan adalah pasir silika dan pasir besi. Gypsum juga biasanya ditambahkan sebagai bahan tambahan setelah terbentuk klinker.
3.1.4. Fungsi Senyawa Kimia Dalam Bahan Baku
Jika
dinyatakan dalam bentuk oksidanya, ada 7 senyawa kimia penting yang
terdapat dalam bentuk bahan baku. Senyawa kimia tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Oksida Kalsium (CaO)
Sumber utama oksida kalsium adalah CaCO3
dalam batu kapur. Dalam proses semen CaO merupakan oksida terpenting,
sebab disamping merupakan senyawa terbesar jumlahnya juga merupakan
senyawa bereaksi dengan senyawa-senyawa silikat, aluminat dan besi
membentuk senyawa-potensial penyusun senyawa semen. CaO dalam batu kapur
tidak semuanya berikatan membentuk mineral potensial biasanya tidak
berikatan dengan senyawa lain yang biasa disebut CaO bebas.
2. Oksida Silica (SiO2)
SiO2 terutama diperoleh dari peruraian mineral-mineral kelompok montmorillonit yang berasal dari tanah liat. Disamping itu juga SiO2 bebas yang berasal dari pasir silika. Dalam semen, SiO2 selalu terdapat dalam keadaan berikatan dengan CaO.
3. Oksida Alumunium (Al2O3)
Al2O3
juga terdapat di dalam tanah liat yaitu pada kelompok mineral
nontronik, bersama CaO merupakan oksida pembentuk mineral potensial
kalsium alumina, bersama CaO dan Fe2O3 akan membentuk senyawa alumina ferri. Al2O3 berperan sebagai fluks (penurunan titik leleh) campuran bahan-bahan baku.
4. Oksida ferrum (Fe2O3)
Fe2O3 juga terdapat dalam tanah liat yaitu dalam kelompok mineral kaolonit. Bersama-sama CaO dan Al2O3, Fe2O3
akan bereaksi membentuk senyawa alumina ferrit. Selain berperan dalam
reaksi pembentuk mineral potensial juga berperan sebagai fluks.
5. Oksida Magnesium (MgO)
MgO terutama diperoleh dari peruraian dolomite (CaCO3)
kadang-kadang MgO bisa juga berasal dari mineral-mieneral tanah liat.
MgO tidak berfungsi sebagai salah satu mineral potensial sebab dalam
proses pembuatan semen, MgO tidak bereaksi dengan oksida-oksida lainnya.
Peranannya hanya sebagai fluks dan pewarna semen.
6. Oksida alkali (Na2O dan K2O)
Oksida
alkali umumnya berasal dari dekomposisi mineral-mineral tanah liat
yaitu kelompok illit dan jumlahnya relative kecil. Oksida alkali bukan
merupakan pembentuk mineral potensial tetapi sebagai fluks saja.
7. Oksida belerang (SO3)
Oksida belerang dalam semen terutama diperoleh dari penambahan senyawa CaSO4.2H2O. Selain itu ada juga SO3
yag berasal dari bahan bakar yang digunakan dalam proses pembuatan
semen. Senyawa oksida belerang sama sekali tidak berpengaruh dalam
pembentukan mineral potensial penyusun semen, tetapi fungsinya terutama
pada pemakaian semen.
8. Oksida Fosfar (P2O5)
Umumnya kandungan P2O5 pada semen tidak lebih dari 0,2%. Adanya P2O5 dapat memperlambat pengerasan semen, karena turunnya kadar C3S dimana terbentuk P2O5 dan CaO. Kadar P2O5 yang tinggi dapat menyebabkan unsoundness karena terbentuknya kapur bebas pada P2O5 2,5%.
3.1.5. Fungsi Senyawa Utama Semen
Senyawa – senyawa utama semen (mineral – mineral potensial/penyusun semen adalah:
1. Trikalsium Silikat (C3S).
Merupakan
komponen penentu utama kekuatan awal semen. Hal ini disebabkan karena
selain jumlah yang besar, reaksi hidrasinya juga berlangsung cepat.
Pemuaian C3S lebih kecil dibanding dengan C3A tetapi lebih besar bila dibanding dengan C4AF. Panas Hidrasi yang ditimbulkan oleh C3S adalah kedua terbesar setelah C3A.
2. Dikalsium Silikat (C2S).
Merupakan
Komponen penentu kekuatan akhir semen. Reaksi Hidrasinya yang lambat
menyebabkan pengembangan kekuatan juga berlangsung lambat, yakni baru
terlihat 28 hari setelah pengikatan. Seperti C3S, C2S
juga tidak memberi pengaruh yang berarti pada pemuaian semen. Panas
hidrasinya adalah yang terendah dibandingkan dengan komponen-komponen
lainnya.
3. Trikalsium Aluminat (C3A).
Merupakan komponen yang sangat menentukan ketahanan semen terhadap senyawa-senyawa sulfat. Makin rendah kadar C3A dalam semen, makin tahan semen terhadap serangan sulfat. Reaksi hidrasi C3A merupakan sumber panas terbesar diantara reaksi hidrasi senyawa-senyawa lainnya.
4. Tetrakalsium Aluminoferrit (C4AF)
C4AF hampir tidak berpengaruh terhadap kekuatan semen.Panas hidrasi yasng ditimbulkan C4AF rendah,hanya sekitar 420 joule per gram.C4AF merupakan komponen yang menentukan warna semen.Nilai C4AF dapat dihitung menurut persamaan sebagai berikut:
C4AF = 3,043.Fe2O3
3.1.6. Senyawa yang tak diinginkan di dalam semen (Negative Component)
Negative
komponen adalah senyawa-senyawa yang tidak dengan sengaja ditambahkan
atau terbentuk dalam proses dan menimbulkan pengaruh-pengaruh yang tidak
menguntungkan, baik pada proses pembuatan semen maupun dalam pemakaian
semen.
1. Pada proses pembuatan semen
Beberapa senyawa yang dapat menimbulkan gangguan-gangguan dalam proses pembakaran terak antara lain:
1. Alkali
Sebagian
besar senyawa alkali berasal dari bahan baku tanah liat ataupun dari
bahan bakar, khususnya batu bara. Pada suhu sekitar 800 – 1000o C, senyawa alkali dalam raw mill yang masuk ke dalam tanur putar mulai menguap. Uap alkali ini akan bereaksi dengan gas-gas CO3 (baik dari bahan baku atau dari bahan bakar), CO2 dan klorida membentuk senyawa-senyawa alkali sulfat (Na2SO4 dan K2SO4), alkali karbonat (Na2CO3 dan K2CO3) dan alkali klorida (NaCl dan KCl). Tetapi pada suhu dibawah 7000C sebagian besar garam-garam alkali yang terbentuk akan mengembun dan cairannya akan menempel pada
butir-butir umpan tanur membentuk bahan yang bersifat “sticky”
(terutama alkali sulfat dan klorida). Bahan yang “sticky” ini dapat
menempel pada dinding preheater, sebagian akan ikut terbawa debu
meninggalkan preheater dan sebagian lagi terbawa kedalam tanur putar.
2. Belerang
Seperti
halnya alkali, senyawa-senyawa belerang kebanyakan berasal dari bahan
baku tanah liat ataupun bahan bakar yang digunakan. Dalam bahan bakar,
senyawa belerang umumnya berupa senyawa pirit dan markasit (FeS2) dengan kadar 0,1 % dinyatakan sebagai SO3. Bahan bakar sendiri, khususnya minyak bunker-C mengandung senyawa belerang dalam bentuk senyawa merasptan (RSH), tiopen (C4H4S) dan lain-lain. Jika jumlah SO3 cukup banyak, maka kelebihan gas SO3 akan bereaksi dengan kalsium karbonat (CaCO3) umpan tanur di preheater membentuk senyawa CaSO4. Senyawa ini kemudian masuk ke dalam tanur bersama lainnya, dan sesampainya di burning-zone sebagian akan terurai.
CaSO4 CaO + SO3
SO3 yang terbentuk akan menambah atau meningkatkan sirkulasi belerang. Sebagian CaSO4 lainnya akan terbawa keluar bersama terak. Anhidrat CaSO4
ini daya larutnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan daya larut
gypsum, sehingga terak dapat berfungsi sebagai pengatur waktu pengikatan
semen. Selain itu, adanya anhidrat CaSO4 menyebabkan jumlah gypsum yang ditambahkan pada penggilingan terak menjadi berkurang. Persyaratan kadar maksimum SO3
total bukan hanya berasal dari gypsum saja, lebih dari setengah jumlah
belerang yang masuk ke dalam proses keluar bersama terak dengan kadar
0,1 – 0,5 % jika dinyatakan sebagai SO3.
3. Klorida
Kadar
senyawa klorida dalam umpan tanur bervariasi antara 0,001 – 0,10 %,
sedangkan dalam debu bahan bakar batu bara berkisar 0,4 %. Seperti yang
telah dijelaskan di atas, senyawa klorida bereaksi dengan senyawa alkali
dalam tanur putar membentuk senyawa alkali klorida. Senyawa ini keluar
dari tanur bersama gas hasil pembakaran, dan kemudian mengembun di
preheater. Embun alkali klorida bersama umpan tanur masuk kembali
kedalam tanur, dan sesampainya di burning-zone hampir semuanya
teruapkan, karena pengembunan alkali klorida di preheater cukup sempurna
maka senyawa ini akan selalu bersirkulasi ( naik-turun) antara
burning-zone dan preheater dengan jumlah yang semakin lama semakin
banyak.
Coating
yang terbentuk di preheater makin lama makin banyak. Untuk mencegah gas
ini, sebagian gas tanur (10 – 25 %) di by-pass dapat diperlukan bila
kadar senyawa klorida dalam raw mix melebihi 0,015%. “coating “ adalah
massa padat yang terbentuk dan menempel pada suatu permukaan bahan
karena adanya daya tarik-menarik antara massa dengan bahan bahan.
2. Pada pembakaran semen
- Kapur bebas (free lime)
Kapur
bebas yang terdapat dalam terak atau semen adalah CaO yang tidak
bersenyawa atau berikatan dengan oksida-oksida lainnya, SiO2, Al2O3 dan Fe2O3. adanya kapur bebas disebabkan oleh 2 hal sebagai berikut:
a. Jumlah kapur yang digunakan berlebihan dengan kebutuhan untuk bereaksi dengan SiO2, Al2O3, dan Fe2O3.
- Reaksi yang berlangsung dalam tanur putar kurang sempurna. Walaupun CaO sesuai dengan kebutuhan, tetapi tidak dapat bersenyawa dengan oksida-oksida SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Seperti telah diketahui, proses pembakaran dalam tanur putar berlangsung pada suhu yang tinggi dari suhu disosiasi CaCO3 (896 0C lalu CaO hasil disosiasi dibakar keras (hard-bund). Disamping itu CaO mengkristal dan tercampur bersama kristal-kristal materi lainnya (intercristallised). Kedua kejadian ini menyebabkan CaO yang dihasilkan lambat bereaksi dengan air. Pada waktu semen digunakan, selain reaksi hidrasi senyawa-senyawa mineral potensial juga terjadi hidrasi CaO bebas.
CaO + H2O Ca(OH)2
Reaksi hidrasi berlangsung lambat sekali, baru selesai pada waktu pengikatan akhir semen sudah terlampaui. Padahal Ca(OH)2
yang terbentuk mempunyai volume lebih besar dari CaO. Pertambahan
volume ini (ekspansi) terjadi pada saat semen sudah tidak plastis lagi.
Akibatnya timbul keretakan yang dapat merendahkan mutu semen.
2. Magnesium Oksida, MgO (“periclase”).
Dalam tanur MgCO3 yang terdapat dalam umpan akan terdisosiasi menurut reaksi: MgCO3 MgO + CO2
MgO yang terbentuk tidak bereaksi dengan oksida-oksida utama seperti SiO2, Al2O3, dan Fe2O3,
sebagian akan terlarut dalam mineral-mineral potensial terak sebagian
lagi membentuk kristal perisicle. Seperti halnya CaO bebas, perisicle
juga terkena hard-bund. Akibat reaksinya perisicle dengan air berjalan
sangat lambat dan pada suhu kamar akan berlangsung terus dalam jangka
waktu setahun. Pertambahan volume akibat terbentuknya Mg(OH)2, seperti halnya Ca(OH)2 akan menyebabkan keretakan-keretakan (cracking) pada semen yang digunakan.
Bentuk
relative senyawa-senyawa silikat yang relatif dalam agregant, akan
bereaksi dengan senyawa-senyawa alkali semen. Hasil reaksi berupa gel
alkali silikat dapat menyebabkan terjadinya pemuaian ataupun
keretakan-keretakan pada beton. Proses pemuaian ini berlangsung lambat
dan pengaruhnya baru terlihat dalam jangka waktu 1 tahun.
3.1.7. Proses Pembuatan Semen
Proses pembuatan semen ada 2 (dua) macam yaitu:
A. Proses Basah
Disebut
proses basah karena campuran bahan baku mulai dari proses penggilingan
sampai masuk ke dalam tanur putar berupa luluhan dengan kadar air
sekitar 30-40%.
Adapun keuntungan dari proses basah :
- Komposisi umpan sangat homogen
- Debu yang keluar sangat sedikit
- Peralatan untuk feeding, sampling, penyimpanan, transport bahan dan alat untuk homogenisasi lebih murah.
Adapun kerugian dari proses basah :
- Banyak memerlukan air
- Sangat korosif dipipa-pipa, digrinding media dan rantai kiln
- Kebutuhan bahan bakar relative banyak
- Kiln yang digunakan sangat panjang
B. Proses kering
Disebut
proses kering karena campuran bahan baku mulai dari proses penggiling
sampai masuk ke dalam tanur putar ( Raw Mill) dengan kadar air kurang
dari 1%.
Adapun keuntungan dari proses kering yaitu :
- Pemakaian kalori bahan bakar rendah (700-800 kkal/kg klinker)
- Tanpa putar lebih pendek
Adapun kerugian dari proses kering yaitu :
- Biaya untuk alat operasi, tempat penyimpanan, alat homogenisasi sangat mahal
- Banyak diperlukan alat penangkap debu dan menimbulkan polusi.
- Campuran kurang homogeny.
3.1.8. Proses Pembuatan Semen PT. Semen Tonasa
A. Pemecahan/Crushing
Batu
kapur yang berasal dari quarry mengalami dua tahap proses penghancuran,
yakni dengan primary crusher dan secondary crusher. Batu kapur yang
keluar dari primary crusher berukuran lebih kecil dari 125 mm dan
setelah melawati secondary crusher berukuran lebih kecil dari 80 mm.
Bersamaan dengan itu, di lain pihak tanah liat yang berasal dari
Ammessanggeng/ Bunga Eja juga mengalami proses penghancuran. Material
batu kapur dan tanah liat yang telah dihancurkan dicampur dalam mix
crusher selanjutnya ditampung dalam mix pile strorage.
Disamping
itu, bahan-bahan korektif seperti pasir silika dan pasir besi juga
mengalami proses penghancuran terlebih dahulu sebelum ditampung di
additive strorage. Untuk mengantisipasi kekurangan batu kapur dalam
proses penggilingan maka di additive strorage juga tersedia batu kapur
murni yang juga melewati dua tahap penghancuran.
Semua
material yang ada dalam gudang penyimpanan tersebut ditampung didalam
empat bin masing-masing untuk memudahkan pengontrolan komposisi
pengumpanan pada saat diumpankan ke dalam Raw Mill untuk proses
penggilingan. Komposisi material yang diumpankan ke dalam Raw Mill
diatur sesuai rekomendasi Quality Assurance dan Control Departement.
B. Penggilingan/homogenisasi
Di
dalam Raw Mill semua material yang diumpankan mengalami proses
penggilingan material-material yang sangat halus (berbentuk tepung
baku). Disamping mengalami proses penggilingan, material yang ada di Raw
Mill juga mengalami proses pengeringan (karena adanya kontak langsung
dengan gas tinggi yang keluar dari tanur bakar) sampai kandungan airnya
maksimal 1%.
Material
tepung yang keluar dari Raw Mill ditampung di dalam Blending Silo dan
mengalami proses homogenisasi sebelum diumpankan ke dalam tanur (rotary
kiln). Material tepung (raw meal) yang keluar dari Blending Silo dan
siap untuk diumpan ke dalam tanur bakar (kiln) disebut Kiln feed.
C. Pembakaran
Kiln
feed mula-mula mengalami pemanasan awal preheater yang dilengkapi
dengan dua buah calsiner (ILC dan SLC) sehingga Kiln Feed mengalami
proses kalsinasi antara 85-95% di dalam kedua kalsiner tersebut. Setelah
mengalami proses kalsinasi (pelepasan CO2), material akan
melewati masa transisi (reaksi antara oksida-oksida penyusun senyawa
klinker) kemudian dilanjutkan dengan proses klinkernisasi (perubahan
fase dari padat ke fase cair untuk membentuk senyawa-senyawa klinker
yang lebih lanjut). Proses ini berlanjut pada suhu tinggi ± 14500C. Senyawa-senyawa utama pembentukan klinker dapat dilihat pada table 3.8:
Tabel 3.8 Senyawa-senyawa utama pembentukan klinker
Senyawa
|
Rumus
|
Singkatan
|
Nama Lain
|
Mineral Potensial :
Trikalsium Silikat
Dikalsinasi Silikat
Trikalsium Aluminat
Tetrakalsium Alumino ferrit
|
3CaO.SiO2
2CaO.SiO2
3CaO.Al2O3
4CaO.Al2O3.Fe2O3
|
C3S
C2S
C3A
C4AF
|
Alite
Belite
-
Ferrite
|
Karena
tingginya suhu dalam tanur putar, maka terjadilah reaksi-reaksi kimia
antara senyawa-senyawa yang terdapat dalam kiln feed. Reaksi-reaksi
tersebut berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat suhu yang
dilalui bahan dalam kiln (Tabel 3.9).
Tabel 3.9 Reaksi Pembentukan Klinker
Suhu (oC)
|
Proses
|
Reaksi
|
<200
|
Pelepasan air bebas
| |
100-400
|
Pelepasan air Kristal pada tanah liat
| |
400-900
|
Penguraian metabolinit dan senyawa-senyawa lainnya membentuk oksida-oksida reaktif
|
Al2O3.SiO2 Al2O3+2SiO2
|
600-1300
|
Penguraian batu kapur (kalsinasi) dan terbentuknya CaO.SiO2(CS) dan CaO, Al2O3.
Pengikatan CaO oleh CS dan CA serta terbentuknya 4CaO, Al2O3, Fe2O3.
|
CaCO3 CaO dan CO2
2CaO+SiO2+Al2O3 CS+CA
3CaO+CA+Fe2O3 C4AF
2CaO+CA C3A
CaO+CS C2S
|
1200-1450
|
Pengikatan lebih lanjut CaO oleh C2S
|
CaO+C2S C3S
|
A. Pengeringan
Proses
pelepasan air bebas yang terkandung dalam kiln feed (0,5-1,0%), disebut
proses pengeringan.Proses ini berlangsung pada suhu sampai 200C, air
yang terabsorpsi oleh mineral-mineral tanah liat mulai terlepas.
Kemudian pada suhu yang lebih tinggi lagi air-air yang terikat secara
kimia (air kristal) atau yang terbentuk gugus hidroksida juga mulai
terlepas. Pada suhu yang lebih tinggi mineral-mineral yang sudah
kehilangan air kristal atau gugus hidroksinya akan terurai menjadi
oksida-oksida yang sifatnya reaktif.
B. Reaksi Dekomposisi Senyawa klinker (Dekarbonasi)
Senyawa
kalsium karbonat yang jumlahnya dalam kiln feed 75-80%, secara teoritis
akan terurai (Terdekomposisi) pada suhu mulai 500-1000 oC
CaCO3 CaO+CO2
C. Reaksi Dekomposisi Senyawa Alumina – silikat
Suhu 896oC keatas adalah suhu terdekomposisinya kalsinat murni (CaCO3) tetapi juga senyawa-senyawa lain, maka dalam kenyataannya dekomposisi sudah mulai berlangsung antara 660C-950o C. Hal ini dapat terlihat dari terjadinya reaksi dalam fase padat antara CaO dengan SiO2, Al2O3, dan Fe2O3 membentuk misalnya
- CaO.Al2O3(CA)
- 12CaO.Al2O3(C12A)
- CaO.SiO2 (CS)
- 2CaO.SiO2(C2S)
G. Reaksi Fase Padat
Pada suhu sekitar 550-1200oC,
reaksi-reaksi tersebut diatas berlanjut tetap dalam fasa padat
,membentuk senyawa-senyawa dengan kadar CaO yang lebih tinggi,seperti:
- 3CaO.Al2O3(C3A)
- 4CaO.Al2O3(C4AF)
Reaksi-reaksi ini berlangsung sangat lambat.
H. Reaksi Sinterisasi atau Klinkerisasi
Cairan atau lelehan pertama yang berasal dari kiln feed terbentuk pada suhu antara 1280-14500C.
Pembentukan cairan ini merupakan titik awal dari proses “klinkerisasi”
pada waktu pertama kali terbentuk cairan, ternyata CaO dan C2S lebih mudah terdifusi kedalam fase cair tersebut dan bereaksi membentuk C3S yang mengkristal.
CaO+2CaO.SiO2 3CaO.SiO2
(C2S) (C3S)
I. Pendinginan Klinker
Agar mutu semen yang dihasilkan baik maka klinker perluntuk didinginkan. Keuntungan dari pendinginan klinker ini antara lain:
- Panas yang terkandung dalam klinker dapat dihemat sebesar kurang lebih 200 kkal /kg klinker
- Proses penggilingan semen dapat berlangsung lebih baik sebab kemungkinan terjadinya dehidrasi gypsum dapat dikurangi
Pendingin klinker dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut seperti :
- Klinker disiram dengan air atau disemprot dengan udara pada waktu keluar dari tanur putar.
- Klinker didinginkan dengan bantuan alat-alat khusus seperti misalnya: rotary cooler, planetary cooler dan grate cooler.
Bersama
– sama dengan sejumlah gypsum, terak lalu digiling dalam finish mill
menjadi semen. Semen hasil penggilingan kemudian disimpan ke dalam silo –
silo semen pada suhu 800 C. Semen di dalam silo siap untuk dikantongkan untuk diangkut ke pelabuhan selanjutnya didistribusikan kepada konsumen.
3.1.9 Sifat – sifat Semen
Sifat – sifat semen terbagi atas 2 bagian yaitu Sifat Fisika dan Sifat kimia semen, yaitu :
v Sifat – sifat fisika semen:
1. Panas Hidrasi semen
Panas
Hidrasi dari komponen semen bersifat eksotermis, sehingga pada saat
proses hidrasi berlangsung, akan melepaskan sejumlah panas. Panas
hidrasi dari masing – masing komponen penyusun semen dapat dilihat pada
table 3.10.
Tabel 3.10 Panas Hidrasi komponen Penyusun Semen
No
|
Komponen
|
Panas Hidrasi, Joule/g
|
1
|
C3S
|
503
|
2
|
C2S
|
260
|
3
|
C3A
|
867
|
4
|
C4AF
|
419
|
Dari tabel atas menunjukkan bahwa semen yang kaya akan C3S dan C3A
mempunyai panas hidrasi yang tinggi, atau sebaliknya. Berdasarkan
pengalaman, panas hidrasi dapat dihitung dari panas hidrasi masing –
masing komponen penyusun dengan menggunakan persamaan :
Qh = a(C3S)+b(C2S)+c(C3A)+d(C4AF)
Dengan :
Qh = Panas Hidrasi Semen
a,b,c,d = Panas hidrasi masing – masing komponen
(C3S) = Fraksi C3S di dalam semen.
(C2S) = Fraksi C2S di dalam semen.
(C3A) = Fraksi C3A di dalam semen.
(C4AF) = Fraksi C4AF di dalam semen.
Tetapi
pada prakteknya terdapat perbedaan hasil dengan pengukuran karena
adanya impurities di dalam semen yang mempengaruhi panas yang dihasilkan
selama proses hidrasi berlangsung. Biasanya panas hidrasi semen tipe 1
bervariasi antara 420 sampai 500 joule/gram. Berlangsungnya proses
hidrasi dapat digambarkan sebagai berikut :
Anhidrat (padatan) + Air Hidrat (padatan) + panas
Dengan urutan proses :
· Pemadatan/solidifikasi (pengikatan air)
· Pembentukan fase baru (hidrat)
· Penambahan volume pada fase padatan
· Pengeluaran panas
Yang
paling penting dalam pengontrolan panas hidrasi adalah pengontrolan
komposisi klinker, dimana yang potensial mengeluarkan panas hidrasi
tinggi pada saat proses hidrasi berlangsung adalah C3S dan C3A. Oleh karena itu untuk menghasilkan semen dengan panas hidrasi rendah diperlukan klinker dengan kandungan C3S dan C3A yang rendah pula.
2. Kuat Tekan Semen.
Kuat
tekan semen salah satunya ditentukan oleh komponen penyusun,
terutama oleh kalsium silikat. Pada pengembangan kuat tekan awal
(misalnya sampai umur 28 hari), didominasi oleh hidrasi C3S yang didukung oleh C3A. Untuk C2S dan C4AF
akan memberikan kontribusi terhadap kuat tekan untuk umur yang lebih
lama. Selain itu yang mempengaruhi pengembangan kuat tekan adalah
kehalusan semen terhadap pengembangan kuat tekan.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa pengembangan kuat tekan semen berasal dari
pengembangan kuat tekan masing – masing komponen penyusun semen.
Secara statistik, kuat tekan semen dapat diperkirakan dengan mencari
persamaan hubungan antara variabel yang berpengaruh terhadap kuat tekan
semen dengan regresi linear variabel yaitu:
P = a(C3S) + b(C2S) + c(C3A) + d(C4AF) + e(FcaO) + .......
Dengan :
P = kuat tekan
a,b,c,.... = konstanta regresi multi variabel
C3S,C2S,... = Fraksi Komponen
3. Shrinkage ( Pengerutan )
Pengaruh komposisi kimia semen terhadap shrinkage tidak diketahui secara pasti. Gonnerman menemukan C3S dan C2S mempunyai tingkat pengaruh yang sama terhadap terjadinya peristiwa shrinkage, sedangkan menurut Roper, naiknya kandungan C3A akan mengakibatkan shrinkage menjadi lebih besar. Pengaruh C3A terhadap shrinkage ini dipengaruhi oleh besarnya kadar gypsum dalam semen, dengan kata lain semen yang mempunyai kandungan C3A sama akan mengakibatkan shrinkage yang berbeda bila kandungan gypsumnya berbeda.
Untuk
pengaruh dari elemen yang lain dalam semen seperti kehalusan,
distribusi ukuran partikel, dan lain – lainnya diketahui secara pasti.
4. Ketahanan Terhadap Sulfat (Durability)
Salah
satu hal penting dalam penggunaan semen dalam struktur beton adalah
ketahanan terhadap sulfat. Komponen penyusun semen yang mempengaruhi
terhadap ketahanan terhadap sulfat adalah C3A. Pada saat terjadi proses hidrasi semen, C3A
akan bereaksi dengan sulfat dan air membentuk ettringite. Ettringite
ini mempunyai volume yang lebih besar dibandingkan volume komponen
penyusunnya sehingga bila berlebihan mengakibatkan terjadinya ekspansi
yang dapat menyebabkan kerusakan pada struktur beton.
Pada proses hidrasi semen dihasilkan juga Ca(OH)2
yang akan bereaksi dengan sulfat yang menghasilkan kalsium alumina
hidrat. Reaksi ini juga mengakibatkan pengembangan volume. Reaksi
pembentukan calsium alumina hidrat dan ettringite adalah sebagai berikut
:
Ca(OH)2 + (SO4)2- + 2H2O CaSO4.2H2O + 2NaOH
3CaSO4.2H2O + 4CaO.Al2O3.19H2O 3CaO.Al2O3.3CaSO4.31H2O + Ca(OH)2.
Ettringitt
Ettringitte juga terbentuk sebagai hasil reaksi antara C4AF dengan sulfat, tetapi lebih kecil bila dibandingkan dengan C3A. Dari uraian diatas, maka semen yang tahan terhadap sulfat (semen type V) kandungan C3A-nya dibatasi maksimum 5 %.
5. Soundness.
Soundness
didefinisikan sebagai kemampuan pasta semen yang mengeras untuk
mempertahankan volumenya setelah proses pengikatan berakhir. Kestabilan
volume ini dapat terganggu karena adanya CaO bebas (free lime) dan MgO
bebas (periclase) yang berlebihan (mengakibatkan ekspansi). Reaksi –
reaksi yang mengakibatkan terjadinya ekspansi adalah :
Ø C3A + SO3 + H2O
Hidrasi C3A
mengakibatkan terbentuknya ettringitte selama ion sulfat masih ada
(dari gypsum) dan berhenti saat gypsum dalam semen habis. Bila kandungan
sulfat dalam semen terlalu besar, berakibat proses pengerasan yang
bertambah lama dan ekspansi yang dapat menimbulkan keretakan.
Ø CaO bebas + H2O
CaO
bebas (free lime) sangat reaktif dengan air, sehingga selama proses
penggilingan maupun penyimpanan, CaO bebas yang ada akan mengikat air
dari udara. Meskipun demikian, CaO bebas akan bereaksi dengan cepat pada
saat air ditambahkan ke dalam semen dan volume akhir reaksi lebih besar
bila di bandingkan sebelum reaksi.
Ø MgO bebas + H2O
Efek adanya MgO bebas dan reaksi yang terjadi sama dengan efek adanya
CaO bebas, tetapi pada reaksi MgO bebas ini dihasilkan volume yang jauh
lebih besar bila dibandingkan reaksi CaO bebas.
Penentuan nilai Soundness semen dapat dilakukan dengan mengukur ekspansi pada autoclave, Past test atau metode Le Chatelier.
6. Waktu pengikatan.
Waktu
pengikatan adalah waktu yang dibutuhkan oleh pasta semen dari mulai di
tambahkan air sampai didapatkan semen yang keras dan tidak dapat di
bentuk lagi. Periode waktu pengikatan ini dapat dibagi menjadi 4 yaitu
dormant periode, initial set (pengikatan awal), final set (pengikatan
akhir), dan hardening (pengerasan).
Campuran
semen dengan air akan membentuk adonan yang bersifat kenyal dan dapat
di bentuk (workable). Untuk beberapa saat sifat pasta tidak dapat
berubah. Periode ini dikenal dengan periode tidak aktif (dormant periode).
Pada tahap selanjutnya, pasta yang terbentuk menjadi semakin kaku
hingga mencapai tingkat dimana pasta tetap lunak, tetapi sudah tidak
dapat dibentuk lagi. Periode ini disebut inital set,sedang waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkatan ini disebut initial setting time(waktu pengikatan awal). Selanjutnya pasta menjadi semakin kaku menjadi semakin padatan yang keras dan etas (rigid). Tahap ini disebut final set dan waktu yang di butuhkan untuk mencapai tingkatan ini disebut final setting time
(waktu pengikatan akhir). Proses ini berlanjut terus hingga pasta semen
menjadi semakin keras dan kuat yang disebut dengan pengerasan atau hardening.
7. Konsistensi
Konsistensi
didefenisikan sebagai kemampuan pasta semen untuk mengalir. Pada
pengujian, konsistensi ditunjukkan dengan penetrasi jarum vicat sebesar
10±1 mm. Sifat ini digunakan untuk mengatur perbandingan antara jumlah
air dengan semen pada saat pembuatan pasta semen.
v Sifat – sifat kimia semen
Beberapa sifat kimia yang penting dalam diskusi persemenan antara lain:
1. Loss on Ignition (LOI)
LOI
menyatakan bagian dari zat yang akan terbebaskan sebagai gas pada saat
terpanaskan atau dibakar (temperatur tinggi). Pada bahan baku umpan kiln
ini berarti bahwa semakin tinggi LOI-nya maka semakin sedikit umpan
kiln yang menjadi produk klinker. Oleh karena itu, LOI bahan baku
maksimal di persyaratkan untuk mengurangi in-efisiensi proses karena
adanya mineral – mineral yang dapat diuraikan pada saat pembakaran.
Komponen utama LOI adalah uap air yang berasal dari kandungan air
(moisture) dalam bahan baku (raw mix) dan gas CO2 yang akan dihasilkan dari proses kalsinasi CaCO3.
2. Insoluble Residue
Yaitu
impuritis/zat pengotor yang tetap tinggal setelah semen tersebut
direaksikan dengan asam khlorida (HCl) dan natrium karbonat(Na2CO3).
Insoluble residue dibatasi untuk mencegah tercampurnya semen Portland
dengan bahan – bahan alami lainnya yang tidak dapat dibatasi dari
persyaratan fisika
3. Modulus – modulus Semen
Modulus
– modulus semen digunakan sebagai dasar untuk menentukan jenis semen
yang akan diproduksi dan digunakan untuk menghitung perbandingan bahan
baku yang dipakai.
a) Hydraulic Modulus (HM)
Modulus ini menunjukkan perbandingan antara CaO dengan ketiga oksida lainnya yang dirumuskan:
Batasan nilai HM adalah 1,7-2,3, pengaruh nilai HM terhadap proses dan kualitas semen adalah sebagai berikut:
§ Pengaruh HM >2,3
kiln
feed suklit dibakar, kebutuhan energi tinggi. Karakteristik semen yang
dihasilkan adalah mempunyai kadar CaO bebas cenderung tinggi, kuat tekan
awal dan panas hidrasi tinggi, tidak tahan terhadap senyawa asam dan
stabilitas volume yang rendah.
§ Pengaruh HM <1,7
Kiln feed mudah dibakar, kebutuhan energi rendah.
Karakteristik semen yang dihasilkan adalah mempunyai kadar CaO bebas rendah, kuat tekan rendah.
b) Faktor penjenuhan kapur/lime saturation factor (LSF)
Faktor penjenuhan kapur adalah nilai yang menunjukkan perbandingan CaO maksimum teoritis yang dapat mengikat senyawa–senyawa SiO2, Al2O3,dan Fe2O3.
Perhitungan LSF didasarkan pada anggapan kondisi pembakaran klinker
yang optimal, homogenisasi tepung baku baik dan CaO bebas pada klinker
sama dengan nol, yang dirumuskan:
Batasan nilai LSF adalah 90-99 pengaruh nilai LSF terhadap proses dan kualitas semen adalah sebagai berikut:
Pengaruh LSF > 99
Ø Kiln feed sulit dibakar, kebutuhan energi tinggi.
Ø Sulit membentuk coating, sehingga panas hidrasi yang hilang dari dinding tanur naik.
Ø Temperatur gas keluar tanur naik
Ø Kadar CaO bebas cenderung naik
Ø Kadar C3S naik, sehingga kuat tekan awal dan panas hidrasi naik.
Ø Batu bara yang tinggi.
Ø Biasanya digunakan untuk mengantisipasi kadar abu dan komposisi kimia kadar abu batu bara yang tinggi.
Pengaruh LSF <90
Ø Kiln feed mudah dibakar, kebutuhan energi rendah.
Ø Fase cair di burning zone berlebih, cenderung membentuk ring dan coating washing
Ø Klinker berbentuk bola-bola dan sulit dingin.
Ø Kadar CaO bebas rendah.
Ø Kadar C3S turun dan kadar C2S naik secara proporsional.
Ø Panas hidrasi semen cenderung rendah.
c) Silika Modulus (SM)
Silika modulus adalah nilai yang menunjukan perbandingan antara jumlah SiO2 terhadap jumlah Fe2O3 dan Al2O3. Modulus silika dapat dinyatakan dengan persamaan berikut ini:
SM=
Batasan nilai SM adalah 1,9-3,2. Pengaruh nilai SM terhadap proses dan kualitas semen sebagai berikut:
Pengaruh SM >3,2
Ø Kiln feed sulit dibakar dan memerlukan energi tinggi.
Ø Fase cair rendah, thermal load tinggi, terak dusty dan kadar CaO bebas cenderung tinggi.
Ø Sifat coating tidak stabil. Coating yang terbentuk tidak tahan terhadap thermal shock sehingga radiasi dan dinding tanur tinggi.
Ø Merusak bata tahan api.
Ø Memperlambat pengerasan semen.
Ø Kuat tekan semen cenderung tinggi.
Pengaruh SM < 1,9
Ø Selalu membentuk ring.
Ø Klinker terbentuk bola dan sulit dingin.
Ø Waktu pengikatan semen pendek dan panas hidrasi naik.
Ø Kuat tekan awal semen (3-7 hari) rendah.
Ø Tanur tidak stabil, kebutuhan energi rendah.
Ø Mudah dibakar, fase cair tinggi, dapat merusak bata tahan api.
d) Aluminium Modulus (AM) atau Iron Modulus (IM)
Alumina Modulus atau Iron Modulus adalah perbandingan antara Al2O3 dan Fe2O3. Nilai Alumina modulus/ iron Modulus dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :
IM = AM =
Batasan nilai IM/AM adalah 1,5-2,5, pengaruh nilai IM/AM terhadap proses dan kualitas semen adalah sebagai berikut :
Pengaruh IM > 2,5
Ø Kiln feed sulit dibakar.
Ø Viskositas fase cair pada temperatur tetap akan naik.
Ø Semen
yang dihasilkan mempunyai kuat tekan awal tinggi, waktu pengikatan
pendek, panas hidrasi tinggi, ketahanan terhadap sulfur rendah.
Ø Kadar C3A naik, C4AF turun,sedangkan C3S dan C2S rendah.
Pengaruh IM <1,5
Ø Fase Cair mempunyai viskositas rendah.
Ø Semen yang dihasilkan mempunyai ketahanan terhadap sulfat tinggi, kuat awal rendah dan panas hidrasi rendah.
Ø IM yang rendah dan tidak adanya SiO2 bebas dalam kiln feed menyebabkan terak menjadi lengket dan membentuk bola – bola besar.
Selain
mengandung senyawa yang diperlakukan, kiln feed juga mengandung senyawa
yang tidak diinginkan. Kadar senyawa tersebut harus dibatasi sekecil
mungkin. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari gangguan yang dapat
ditimbulkan oleh senyawa tersebut,baik selama proses pembuatan semen
maupun pada saat semen tersebut digunakan.
3.2 Teori Ash
3.2.1 Definisi Ash
Ash
atau abu sesuai yang tercantum dalam “Condensed Chemical Dictionary”
adalah serbuk abu yang sangat halus yang dihasilkan dari sisa pembakaran batubara bubuk.
Ash juga adalah hasil
samping dari pembakaran batubara di boiler Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU). Kecenderungan dewasa ini akibat naiknya harga minyak diesel
industri, maka banyak pembangkit listrik yang beralih menggunakan
batubara sebagai bahan bakar dalam menghasilkan steam (uap). Sisa hasil
pembakaran dengan batubara menghasilkan abu yang disebut dengan fly ash
dan bottom ash (5-10%). Presentase abu (fly ash dan bottom ash) yang dihasilkan adalah fly ash (80%-90%) bottom ash (10%-20%). Pembakaran batubara akan menghasilkan abu, gas-gas oksida belerang (SOX), oksida nitrogen (NOX), gas hidrokarbon, karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2).
Fly
Ash merupakan campuran dari senyawa alumina, silika, karbon yang tidak
terbakar dan bermacam-macam oksida logam, yang mempunyai sifat
pozolanik, yaitu sifat dari bahan tertentu dimana bahan tersebut dapat
bereaksi dengan kapur bebas dan membentuk suatu ikatan seperti semen
dengan adanya air, pada suhu kamar.
3.2.2 Sifat Fly Ash
Abu
terbang atau yang biasa kita sebut dengan fly ash memiliki sifat
pozzolan yang terdiri dari unsur-unsur silikat dan atau aluminat yang
reaktif. Komposisi kimia masing-masing jenis abu terbang sedikit berbeda
dengan komposisi kimia semen.
Abu
batubara adalah bagian dari sisa pembakaran batubara pada boiler
pembangkit listrik tenaga uap yang berbentuk partikel halus amorf dan
bersifat Pozzolan, berarti abu tersebut dapat bereaksi dengan kapur pada
suhu kamar dengan media air membentuk senyawa yang bersifat mengikat.
Dengan adanya sifat pozzolan tersebut abu terbang mempunyai prospek
untuk digunakan berbagai keperluan bangunan.
Abu terbang sepertinya cukup baik untuk digunakan sebagai bahan ikat karena bahan penyusun utamanya adalah silikon dioksida (SiO2), alumunium (Al2O3) dan Ferrum oksida (Fe2O3).
Oksida-oksida tersebut dapat bereaksi dengan kapur bebas yang
dilepaskan semen ketika bereaksi dengan air. Clarence (1966: 24)
menjelaskan dengan pemakaian abu terbang sebesar 20 – 30% terhadap berat
semen maka jumlah semen akan berkurang secara signifikan dan dapat
menambah kuat tekan beton. Pengurangan jumlah semen akan menurunkan
biaya material sehingga efisiensi dapat ditingkatkan.
Secara fisik sifat-sifat fly ash adalah :
- kehalusannya tinggi
- bentuk butir bulat
- tidak porous
Fly
ash juga mengandung racun-racun lingkungan dalam jumlah yang banyak,
termasuk arsenik (43,4 ppm); barium (806 ppm); berilium (5 ppm); boron
(311 ppm); kadmium (3,4 ppm); kromium (136 ppm); krom VI ( 90 ppm);
kobalt (35,9 ppm); tembaga (112 ppm); fluor (29 ppm); mangan (250 ppm);
nikel (77,6 ppm); selenium (7,7 ppm); strontium (775 ppm ); talium (9
ppm); vanadium (252 ppm), dan seng (178 ppm).
3.2.3 Spesifikasi Fly Ash
Spesifikasi kimia abu terbang atau yang lebih dikenal dengan fly ash berkisar sebagai berikut:
3.2.4 Kandungan Ash
Komponen
– komponen pada fly ash batubara bergantung pada sumber dan susunan
batubara. Komponen fly ash sangat bervariasi mulai dari sejumlah besar
silikon dioksida (SiO2), Kalsium Dioksida (CaO) dan sejumlah kecil
unsur-unsur lain seperti arsenik, berilium, boron, kadmium, kromium,
kromium VI, kobalt, timah, mangan, raksa, molibdenum, selenium,
strontium, talium, dan vanadium.
Fly ash batubara adalah material solid yang biasanya berbentuk bulat dan berdiameter berkisar antara 0,5 μm sampai 100 μm. Mereka sebagian besar terdiri dari silikon dioksida (SiO2), yang hadir dalam dua bentuk: amorf, yang bulat dan halus, dan kristal, yang tajam, runcing dan berbahaya; aluminium oksida (Al 2O3) dan oksida besi (Fe2O3).
Tabel. Komposisi kimia berbagai jenis abu terbang
Sumber: Ratmaya Urip, 2003
3.2.5 Pengelompokan Fly Ash
ASTM (America Standar Testing of Material)
mendefinisikan jenis fly ash terbagi menjadi kelas F dan kelas C.
Perbedaan antara keduanya terletak pada kandungan kalsium, silika, dan
alumina serta unsur-unsur besi lainnya.
· Kelas F fly ash
Pembakaran lebih keras, lebih tua batubara antrasit dan bitumen biasanya menghasilkan Kelas F fly ash. Ini fly ash adalah pozzolanic di alam, dan mengandung kurang dari 10% kapur
(CaO). Pozzolanic memiliki properti, yang berkaca-kaca silika dan
alumina Kelas F fly ash membutuhkan penyemenan agen, seperti semen
portland, kapur, atau kapur terhidrasi, dengan kehadiran air untuk
bereaksi dan menghasilkan senyawa cementitious. Atau, penambahan penggerak kimia seperti natrium silikat (gelas air) ke Kelas F abu dapat mengarah pada pembentukan geopolymer.
· Kelas C fly ash
Fly
ash yang dihasilkan dari pembakaran lebih muda subbituminous lignit
atau batu bara, selain memiliki sifat pozzolanic, juga memiliki beberapa
sifat memperkuat diri. Dengan keberadaan air, Kelas C fly ash akan
mengeras dan memperoleh kekuatan dari waktu ke waktu. Kelas C fly ash
umumnya mengandung lebih dari 20% kapur (CaO). Berbeda Kelas F, diri
penyemenan fly ash Kelas C tidak membutuhkan penggerak. Alkali dan sulfat (SO 4) isinya umumnya lebih tinggi di Kelas C terbang abu.
Setidaknya satu produsen AS telah mengumumkan fly ash bata
yang mengandung hingga 50 persen Kelas C fly ash. Pengujian menunjukkan
batu bata memenuhi atau melebihi standar kinerja yang tercantum dalam ASTM
C 216 bata tanah liat konvensional, melainkan juga dalam batas
penyusutan yang dibolehkan bata beton dalam ASTM C 55, Standar
Spesifikasi Bangunan Bata Beton. Diperkirakan bahwa metode produksi yang
digunakan dalam fly ash batu bata akan mengurangi energi yang
terkandung batu konstruksi hingga 90%.
Dalam
SNI 03-6863-2002 (2002: 146) spesifikasi abu terbang sebagai bahan
tambah untuk campuran beton disebutkan ada 3 jenis abu terbang, yaitu;
· Abu terbang jenis N, ialah abu terbang hasil kalsinasi dari pozolan alam, misalnya tanah diatomite, shole, tuft dan batu apung.
· Abu terbang jenis F, ialah abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran batubara jenis antrasit pada suhu kurang lebih 1560°C.
· Abu
terbang jenis C, ialah abu terbang hasil pembakaran ligmit/batubara
dengan kadar karbon sekitar 60%. Abu terbang jenis ini mempunyai sifat
seperti semen dengan kadar kapur di atas 10%.
4 Penggunaan Fly Ash
Dengan sifat dan karakteristik dari fly ash batubara, maka fly Ash dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti:
· Fly ash clay brick
· Konstituen dalam semen Portland
· Pengganti semen dalam concrete
· Pengganti semen dalam produk concrete
· Sebagai pozolan dalam Semen Portland Pozolan
· Sebagai pozolan dalam stabilisasi tanah (soil stabilization)
· Sebagai grouping agent dalam Oil Well Cement
· Raw Material untuk ligthweight agregate
· Filler dalam aspalt paving
· Sebagai
pengisi untuk land development atau compacted embankments Lain-lain,
yaitu, absorbent pada oil spilt (silicone-coated), pengganti lime untuk
scrubbing sulfur dari flue gas, sebagai filler dalam plastik, katalis
untuk liquifaction batubara dan lain-lain.
BBMD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar