Sabtu, 05 September 2015

Fungsi dan Kegunaan Fly Ash Dalam Semen

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang Masalah
Kemajuan zaman yang sangat pesat menuntut adanya kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi  sebagai faktor penggerak utama, khususnya dalam memasuki pasar global. Salah satu contoh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dengan adanya pembangunan.
Salah satu contoh kebutuhan manusia sebagai dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah diantaranya mengenai semen. Manusia membutuhkan bangunan yang memiliki kekuatan menahan tekanan dan dapat dibuat sesuai selera baik sebagai tempat untuk beristirahat maupun untuk beraktifitas lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini maka diperlukan bahan perekat, dalam hal ini semen.
Semen merupakan suatu perekat anorganik yang dapat merekatkan bahan-bahan padat menjadi satu kesatuan massa yang kokoh dan dapat membentuk suatu bangunan dengan berbagai macam model. Kemampuan semen sebagai perekat ini merupakan contoh konkrit perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dengan perlakuan tertentu bahan-bahan dari alam ( tanah liat dan batu serta bahan-bahan pembantu lainnya ) dicampur dengan komposisi tertentu sehingga membentuk semen.
Seiring dengan bertumbuhkembangnya industri semen yang dipacu oleh pertumbuhan pembangunan maka semakin banyak pula industri semen yang ada di dunia. Tak dapat dihindari pertumbuhan industri semen ini akan berdampak bagi lingkungan, khususnya mengenai limbah-limbah industri yang akhir-akhir ini mendapatkan perhatian pemerintah. Oleh karena itu pemerintah berusaha mengembangkan industri yang ramah lingkungan dan mengembangkan penelitian dalam penggunaan dan peningkatan daya guna limbah industri serta pemanfaatan sumber daya alam sebaik mungkin.
Masalah yang ditimbulkan dari adanya industri semen bukan hanya dari emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari berbagai proses, juga sumber daya alam yang terbatas. Alam tidak selamanya dapat menyediakan bahan baku yang dibutuhkan. Untuk itu penggunaan sumber daya alam harus seefektif mungkin.
Demi mengurangi emisi CO2 dari pabrik semen, yaitu melalui produksi semen jenis baru yaitu blended hydraulic cement jenis Portland Composite Cement PCC (semen portland komposit). Semen komposit mulai diluncurkan tahun 2005, sejalan dengan mulai dilaksanakannya proyek CDM (Clean Development Mechanism –Mekanisme Pembangunan Bersih) PT. Semen Tonasa (Persero) yang disebut sebagai Proyek Blended Cement, dalam rangka partisipasinya sebagai warga dunia untuk menurunkan pemanasan global.
Sumber daya alam yang digunakan dalam proses pembuatan semen merupakan sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui. Sebagai perusahaan yang bijak, penggunaan sumber daya ini harus secara efisien tanpa mengurangi kualitas dari hasil produksi yang dihasilkan. Untuk itu pemilihan sumber daya yang tepat dinilai penting untuk produktivitas perusahaan. Tetapi tidak selamanya alam memberikan sumber daya dengan komposisi sesuai keinginan.
1.2.        Identifikasi Masalah
Batubara merupakan salah satu bahan bakar yang digunakan dalam proses pembuatan klinker (bahan campuran pembentuk semen) dalam kiln.  Untuk memenuhi  komposisi klinker sesuai yang ditargetkan diperlukan pengaturan komposisi kiln feed.
 Kandungan ash yang merupakan sisa pembakaran batubara dalam  kiln yang bersifat pozzolan dapat mempengaruhi kualitas klinker yang dihasilkan. Dengan menggunakan komposisi yang tepat antara batubara dan  kiln feed dapat menghasilkan klinker yang berkualitas. Untuk itu pemilihan batu bara yang tepat dan pengaturan komposisi kiln feed dapat menjaga target kualitas dari klinker.
1.3.        Batasan Masalah
Data ash batubara yang digunakan sebagai bahan analisa terdiri dari 12 variabel dengan kandungan yang berbeda. Metode yang digunakan sebagai bahan analisa hanya terbatas pada penetapan batubara.


BAB III
LANDASAN TEORI

 
3.1.        TEORI SEMEN
3.1.1.      Sejarah Semen dan Perkembangan Semen
Kata “semen” berasal dari bahasa latin Caementum yang artinya perekat.  Semen sudah dikenal sejak zaman dahulu kala yang dibuat dari kalsinasi kapur yang tidak murni oleh bangsa Mesir untuk konstruksi pyramid. Orang Yunani dan Romawi menggunakan slug vulkanik yang berasal dari gunung merapi yang letaknya dekat Vonselly disekitar gunung Visivius yang dicampur kapur gamping (Quicklime) dan gipsum sebagai semen, dan diberi nama “Pozzoluoana/ Pozzolan Cement”.


No
Nama Penemu
Tahun
Kebangsaan
Hasil Temuan
1
John Smeaton
1756
Inggris
Hydraulic Cement dan memakai bahan tersebut untuk membangun kembali gedung Eddystone Light House.
2

Joseph Parker

1796



1802
Kent(Inggris)



Prancis
Butiran-butiran (septaria) dari batu kapur yang dipakai untuk memproduksi semen.
Memproduksi semen dari butiran (nodule).
4
Edgar Dobbs
1810
Inggris
Membuat semen dari batu kapur.
5
L.J Vicat
1813
Prancis
Membuat semen yang tahan air, harus ditambahan batuan yang mengandung alumina silika yang mempunyai komposisi tertentu.
6
James frost
1822
Inggris
Mulai membuat semen dari batu kapur dan tanah liat.
7
Joseph Aspidin
1824
Inggris
Membuat semen modern yang terbuat dari batu kapur dan tanah liat setelah melalui proses pembakaran.
8
James Frost
1825


1855
Swancombe


Pennsylavia
Mendirikan pabrik Semen Portland yang pertama berdiri di Inggris.
Mendirikan pabrik semen Portland di Belgia dan Jerman
9
David O. Saylor
1850






1871

1875
Pennsylavia






Pennsylavia


Menemukan Semen Alam (Natural Cement) yang berupa batuan semen yang mengandung alumina silika dan diproduksi dengan tungku tegak di USA dan lebih kuat dari pada Hidroaulic Cement
Memproduksi Semen Portland di USA.
Memproduksi Semen Portland di Jepang.
10
Frederick Ransome
1885

Memperkenalkan Rotary Kiln dalam tekhnologi pembuatan semen dengan kapasitas produksi 50 ton Klinker per hari. Panjang Kilnnya adalah 25 meter dengan diameter 2 meter.


Pada tahun 1824, Joseph Aspidin (Inggris) yang mendapat hak paten pertama kali atau proses pembuatan semen hasil penemuannya. Aspidin melakukan proses kalsinasi sampai tingkat tertentu terhadap campuran batu kapur dan tanah liat. Semen ini dinamakan “Portland” karena Beton yang dibuat dengan semen ini sangat menyerupai batuan-batuan alam yang terdapat di pulau Portland, Inggris.
Di Indonesia pabrik semen pertama yaitu: Sumatera Portland Werk didirikan di Indarung, Padang dan Sumetera Barat. Pada tahun 1910 kemudian menyusul di Gresik, Jawa Timur dan pada tahun 1957 disusul dengan berdirinya pabrik Semen Tonasa, Sulawesi Selatan dan pada tahun 1968, pabrik Semen Cibinong dan Indocement pada tahun 1975, Semen Bosowa pada tahun 1998 dan pabrik semen lainnya, sehingga saat ini di Indonesia terdapat 10 pabrik semen dengan kapasitas terpasang ± 27,5 juta ton pertahun.
 
3.1.1.      Defenisi dan Jenis-Jenis Semen Portland
A.       Semen dapat didefenisikan sebagai berikut :
Secara umum semen merupakan suatu bahan perekat yang dapat menyatukan benda padat menjadi satu kesatuan yang kokoh,yang terdiri dari senyawa oksida Calsium dengan oksida Silika. Semen umumnya berbentuk tepung dengan warna, jenis dan type semen bermacam-macam tergantung dari jenis bahan penyusunan serta kegunaan dalam konstruksi bangunan
Jika dalam pemakaiannya harus ditambah air, maka semen disebut semen hidrolis. Semen adalah perekat suatu yang berbentuk halus jika ditambahkan air akan terjadi reaksi hidrasi dan dapat mengikat bahan-bahan padat menjadi satu kesatuan massa yang kokoh.
B.     Adapun jenis-jenis semen antara lain sebagai berikut:
1.      Semen Portland
   Menurut SNI No. 15-2049 tahun 1994, semen portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak semen Portland yang terdiri atas kalsium silikat yang bersifat hidrolis dan digiling bersama-sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal senyawa yang biasa adalah gypsum (CaSO4.2H2O) dan boleh ditambahkan bahan tambahan lain.
Menurut SNI No. 15-2049 tahun 1994, semen Portland diklasifikasikan dalam 5 (lima) jenis sebagai berikut :
·         Tipe I (Ordinary Portland Cement)
Ordinary Portland Cement adalah Semen Portland yang dipakai untuk segala macam kontruksi apabila tidak diperlukan sifat-sifat khusus, misalnya ketahanan terhadap sulfat, panas hidrasi, dan sebagainya. Ordinary Portland Cement mempunyai C3S 59,3%, C2S 17%, C3A 8%, C4AF 11,9% dan komposisi limit sebgai berikut :
     Tabel 3.3. Komposisi limit Semen Tipe I
Oksida
CaO
SiO2
Al2O3
Fe2O3
MgO
SO3
Komposisi % Berat
62.0
20.5
5.5
3.9
5.3
2.8

·         Tipe II (Moderat Heat Portland Cement)
Moderat Heat Portland Cement dalah Semen Portland yang dipakai untuk segala macam kontruksi yang memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang, biasanya digunakan untuk daerah pelabuhan dan bangunan sekitar pantai, batasan kandungan sulfat yang direkomendasikan (sebagai SO3) adalah 0,8 – 0,17 ppm unti ground water,125 ppm unit tanah. Moderat Heat Portland Cement  mempunyai C3A 8%, C4AF 11,9% dan komposisi limit sebagai berikut :
     Tabel 3.4. Komposisi limit Semen Tipe II
Oksida
CaO
SiO2
Al2O3
Fe2O3
MgO
SO3
Komposisi % Berat
66.0
21.5
5.5
3.9
5
2.7

·         Tipe III (High Early Portland Cement)
High Early Portland Cement dalah Semen Portland yang dipakai untuk keadaan-keadaan darurat dan dipakai pada pengecoran untuk keadaan khusus musim dingin, juga dipakai untuk produksi beton tekan. Semen tipe III ini mempunyai kandungan C3S  lebih tinggi dibanding semen tipe lainnya sehingga lebih cepat mengeras dan lebih cepat mengeras dan lebih cepat mengeluarkan kalor juga mempunyai pengembangan kekuatan awal tinggi. High Early Portland Cement mempunyai C3S 35%, C2S 40%, C3A 15%, dan komposisi limit sebagai berikut :
     Tabel 3.5. Komposisi limit Semen Tipe III
Oksida
CaO
SiO2
Al2O3
Fe2O3
MgO
SO3
Komposisi % Berat
65
20
4
0.55
6
4

·        Tipe IV (Low Heat Portland Cement)
 Low Heat Portland Cement adalah Semen Portland yang dipakai untuk bangunan dengan panas hidrasi rendah misalnya pada bangunan besar dan tebal, baik sekali untuk mencegah keretakan.  Semen tipe IV ini mempunyai kandungan C3S dan C3A  lebih rendah tetapi belite (C2S ) lebih banyak dibanding OPC. Sehingga beton yang dibuat dari semen ini mempunyai sifat :
Panas hidrasi rendah, sehingga cocok untuk concerate construction. Kuat tekan awal rendah, tetapi kuat tekan akhir hampir sama dengan OPC tahan terhadap sulfat. Low Heat Portland Cement mempunyai C3S 35%, C2S 40%, C3A 7%, dan komposisi limit sebagai berikut
      Tabel 3.6. Komposisi limit Semen Tipe IV
Oksida
CaO
SiO2
Al2O3
Fe2O3
MgO
SO3
Komposisi % Berat
63
21
5
6.5
6
2.3

·        Tipe V (Sulfate Resistance Portland Cement)
Sulfate Resistance Portland Cement adalah Semen Portland yang mempunyai kekuatan tinggi terhadap sulfat dan mempunyai kandungan C3A  lebih rendah dibandingkan semen tipe lainnya. Sering digunakan untuk bangunan di daerah dengan kadar sulfat. (sebagai SO3) tinggi yaitu 0,17 – 1,67 ppm until ground water,125 – 1250 ppm unit tanah. Sulfate Resistance Portland Cement mempunyai C3A 5%, dan komposisi limit sebagai berikut :
Tabel 3.7. Komposisi limit Semen Tipe V
Oksida
CaO
SiO2
Al2O3
Fe2O3
MgO
SO3
Komposisi % Berat
65
21
5
6.5
6
2.3

·         Semen Turunan dari Semen Portland
Semen Non Portland terdiri atas :
a.      Semen Portland Pozzoland
Pozzoland adalah bahan yang mengandung senyawa silica dan alumina dimana bahan pozzoland itu sendiri tidak mempunyai sifat seperti semen, akan tetapi dalam bentuknya yang halus dan dengan adanya air, maka senyawa-senyawa tersebut akan bereaksi membentuk kalsium aluminat hidrat yang bersifat hidraulis
                            3CaO.Al2O3 + H2O                3CaO.Al2O3. 3H2O
Semen Portland Pozzolan merupakan suatu bahan pengikat hidraulis yang dibuat dengan menggiling bersama-sama terak semen Portland dan bahan yang bersifat pozzoland, atau mencampur secara merata bibuk semen Portland dan bubuk bahan lain yang mempunyai sifat pozzoland. Bahan pozzoland ditambahkan besarnya antara 15-40%
b.      Portland Blast Furnace Slag Cement
Portland Blast Furnace Slag Cement adalah semen yang dibuat dengan cara menggiling campuran klinker semen Portland dengan kerak dapur tinggi (Blast Furnace Slag) secara homogen.
·         Semen Non Portland
·        Semen Alam (Natural Cement)
         Semen Alam merupakan semen yang dihasilkan dari proses pembakaran batu kapur dan tanah liat pada suhu 850 – 1000 oC yang dibuat didalam tungku putar maupun gerak, kemudian tanah yang dihasilkan digiling menjadi semen halus.
·        Semen Alumina Tinggi
Semen Alumina Tinggi pada dasarnya adalah suatu semen kalsium aluminat yang dibuat dengan melebur campuran batu gamping, bauksit, dan bauksit ini biasanya mengandung oksida besi, silica, magnesia, dan ketakmurnian lain. Cirinya terhadap air laut dan air yang mengandung sulfat lebih baik.
·        Semen Sorel
 Semen Sorel adalah semen yang dibuat melalui rekasi eksotermik larutan magnesium klorida terhadap suatu ramuan magnesia yang didapat dari kalsinasi magnesit dan magnesia dari larutan garam.
   3MgO + MgCl2 + 11 H2O           3MgO.MgCl2 .11 H2O      
Semen Sorel mempunyai sifat yang keras dan kuat, mudah terserang air dan sangat korosif. Penggunaaanya terutama sebagai lantai, dan sebagai dasar pelantai dasar seperti ubin atau teras.
3.1.3.   Komponen Penyusun Semen
A.    Bahan Baku Semen
Pada prinsipnya Bahan Baku utama dalam proses pembuatan semen hanya ada 2 yaitu batu kapur dan tanah liat sebab semua senyawa – senyawa utama dalam semen berasal dari kedua bahan tersebut. Bila digunakan bahan lainnya, maka bahan tersebut hanya sebagai bahan pengoreksi komposisi saja.
1.   Batu Kapur
Batu Kapur merupakan sumber utama senyawa Kalsium. Batu kapur murni umumnya merupakan kalsit atau aragonite yang secara kimia keduanya dinamakan CaCO3. Senyawa Karbonat dan Magnesium dalam batu Kapur umumnya berupa dolomite (CaMg(CO3)2. Dalam proses pembuatan Semen, CaCO3 akan berubah menjadi oksida Kalsium (CaO) dan dolomite berubah bentuk menjadi kristal oksida magnesium (MgO) bebas (Periclase) yang dapat merendahkan mutu semen yang dihasilkan, sebab jika jumlah MgO bebas melebihi 5% (berdasarkan SNI No. 15-2049 tahun 2004) maka bangunan yang menggunakan semen tersebut hasilnya akan pecah – pecah.
2.      Tanah Liat
Tanah Liat merupakan sumber utama senyawa silikat. Disamping itu, juga merupakan sumber senyawa – senyawa penting lainnya seperti senyawa besi dan alumina. Dalam jumlah amat kecil kadang – kadang juga didapati senyawa – senyawa alkali (Na dan K) yang dapat mempengaruhi mutu semen. Senyawa-senyawa tersebut diatas dalam tanah liat umumnya  terdapat dalam bentuk kelompok-kelompok mineral, seperti :
1)      Kelompok kaolomit (Al2O3.2SiO2.2H2O) terdiri dari kaolinit dickit, rakit dan alloysit.
2)      Kelompok montmorillonit terdiri dari :
a)      Montmorillonit      = Al2O3.4SiO2.H2O  +  NH2
b)      Nontronit              = (Al2,Fe)2O3.3SiO2. NH3
c)      Saponit                  = 2MgO. 3SiO2. NH2
3)      Kelompok illit, K2O. MgO. Al2O3. SiO2
Selain mineral-mineral tersebut diatas, dalam tanah liat sering dijumpai juga SiO2 bebas dalam bentuk kuarsa, kalsit, pirit dan lemonit.
B.     Bahan Baku Korektif
Bahan Baku korektif adalah bahan baku yang dipakai hanya apabila pada pencampuran bahan baku utama komposisi oksida – oksidanya belum memenuhi persyaratan secara kualitatif dan kuantitatif.
Pada umumnya, bahan baku korektif yang digunakan mengandung oksida silika, oksida alumina dan oksida yang diperoleh dari pasir Silika (Sand), Tanah Liat (Clay), dan Pasir Besi/Iron ore/ pyrite cinder. Misalnya, kekurangan:
-          CaO   : bisa ditambahkan limestone, Marble (90% CaCO3).
-          Al2O3: bisa ditambahkan tanah liat
-          SiO2   : bisa ditambahkan quatz dan sand
-          Fe2O3: bisa ditambahkan pasir besi, pyrite
a)      Pasir Silika     :  Digunakan sebagai pengoreksi kadar SiO2 yang rendah dalam
                                tanah liat
b)      Pasir Besi       :  Digunakan sebagai pengoreksi kadar Fe2O3 atau pengoreksi perbandingan antara Al2O3 dan Fe2O3.
c)      Bauksit          : Digunakan sebagai pengkoreksi kadar Al2O3 yang rendah   dalam tanah liat.
Pada PT. Semen Tonasa bahan koreksi yang digunakan adalah pasir silika dan pasir besi. Gypsum juga biasanya ditambahkan sebagai bahan tambahan setelah terbentuk klinker.
3.1.4.      Fungsi Senyawa Kimia Dalam Bahan Baku
Jika dinyatakan dalam bentuk oksidanya, ada 7 senyawa kimia penting yang terdapat dalam bentuk bahan baku. Senyawa kimia tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Oksida Kalsium (CaO)
Sumber utama oksida kalsium adalah CaCO3 dalam batu kapur. Dalam proses semen CaO merupakan oksida terpenting, sebab disamping merupakan senyawa terbesar jumlahnya juga merupakan senyawa bereaksi dengan senyawa-senyawa silikat, aluminat dan besi membentuk senyawa-potensial penyusun senyawa semen. CaO dalam batu kapur tidak semuanya berikatan membentuk mineral potensial biasanya tidak berikatan dengan senyawa lain yang biasa disebut CaO bebas.
2.      Oksida Silica (SiO2)
SiO2 terutama diperoleh dari peruraian mineral-mineral kelompok montmorillonit yang berasal dari tanah liat. Disamping itu juga SiO2 bebas yang berasal dari pasir silika. Dalam semen, SiO2 selalu terdapat dalam keadaan berikatan dengan  CaO.
3.      Oksida Alumunium (Al2O3)
Al2O3 juga terdapat di dalam tanah liat yaitu pada kelompok mineral nontronik, bersama CaO merupakan oksida pembentuk mineral potensial kalsium alumina, bersama CaO dan Fe2O3 akan membentuk senyawa alumina ferri. Al2O3 berperan sebagai fluks (penurunan titik leleh) campuran bahan-bahan baku.
4.      Oksida ferrum (Fe2O3)
Fe2O3 juga terdapat dalam tanah liat yaitu dalam kelompok mineral kaolonit. Bersama-sama CaO dan Al2O3, Fe2O3 akan bereaksi membentuk senyawa alumina ferrit. Selain berperan dalam reaksi pembentuk mineral potensial juga berperan sebagai fluks.
5.      Oksida Magnesium (MgO)
MgO terutama diperoleh dari peruraian dolomite (CaCO3) kadang-kadang MgO bisa juga  berasal dari mineral-mieneral tanah liat. MgO tidak berfungsi sebagai salah satu mineral potensial sebab dalam proses pembuatan semen, MgO tidak bereaksi dengan oksida-oksida lainnya. Peranannya hanya sebagai fluks dan pewarna semen.
6.      Oksida alkali (Na2O dan K2O)
Oksida alkali umumnya berasal dari dekomposisi mineral-mineral tanah liat yaitu kelompok illit dan jumlahnya relative kecil. Oksida alkali bukan merupakan pembentuk mineral potensial tetapi sebagai fluks saja.
7.      Oksida belerang (SO3)
Oksida belerang dalam semen terutama diperoleh dari penambahan senyawa CaSO4.2H2O. Selain itu ada juga SO3 yag berasal dari bahan bakar yang digunakan dalam proses pembuatan semen. Senyawa oksida belerang sama sekali tidak berpengaruh dalam pembentukan mineral potensial penyusun semen, tetapi fungsinya terutama pada pemakaian semen.
8.      Oksida Fosfar (P2O5)
Umumnya kandungan P2O5 pada semen tidak lebih dari 0,2%. Adanya P2O5 dapat memperlambat pengerasan semen, karena turunnya kadar C3S dimana terbentuk P2O5 dan CaO. Kadar P2O5 yang tinggi dapat menyebabkan unsoundness karena terbentuknya kapur bebas pada P2O5 2,5%.
3.1.5.      Fungsi  Senyawa Utama Semen
Senyawa – senyawa utama semen (mineral – mineral potensial/penyusun semen adalah:
1.      Trikalsium Silikat (C3S).
Merupakan komponen penentu utama kekuatan awal semen. Hal ini disebabkan karena selain jumlah yang besar, reaksi hidrasinya juga berlangsung cepat. Pemuaian  C3S lebih kecil dibanding dengan C3A tetapi lebih besar bila dibanding dengan C4AF. Panas Hidrasi yang ditimbulkan oleh C3S  adalah kedua terbesar setelah C3A.
2.      Dikalsium Silikat (C2S).
Merupakan Komponen penentu kekuatan akhir semen. Reaksi Hidrasinya yang lambat menyebabkan pengembangan kekuatan juga berlangsung lambat, yakni baru terlihat 28 hari setelah pengikatan. Seperti C3S, C2S juga tidak memberi pengaruh yang berarti pada pemuaian semen. Panas hidrasinya adalah yang terendah dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya.
3.      Trikalsium Aluminat (C3A).
Merupakan komponen yang sangat menentukan ketahanan semen terhadap senyawa-senyawa sulfat. Makin rendah kadar C3A dalam semen, makin tahan semen terhadap serangan sulfat. Reaksi hidrasi C3A merupakan sumber panas terbesar diantara reaksi hidrasi senyawa-senyawa lainnya.
4.      Tetrakalsium Aluminoferrit (C4AF)
C4AF hampir tidak berpengaruh terhadap kekuatan semen.Panas hidrasi yasng ditimbulkan C4AF rendah,hanya sekitar 420 joule per gram.C4AF merupakan komponen yang menentukan warna semen.Nilai C4AF dapat dihitung menurut persamaan sebagai berikut:
                         C4AF = 3,043.Fe2O3
3.1.6.      Senyawa yang tak diinginkan di dalam semen (Negative Component)
Negative komponen adalah senyawa-senyawa yang tidak dengan sengaja ditambahkan atau terbentuk dalam proses dan menimbulkan pengaruh-pengaruh yang tidak menguntungkan, baik pada proses pembuatan semen maupun dalam pemakaian semen.
1.      Pada proses pembuatan semen
Beberapa senyawa yang dapat menimbulkan gangguan-gangguan dalam proses pembakaran terak antara lain:
1.      Alkali
Sebagian besar senyawa alkali berasal dari bahan baku tanah liat ataupun dari bahan bakar, khususnya batu bara. Pada suhu sekitar 800 – 1000o C, senyawa alkali dalam raw mill yang masuk ke dalam tanur putar mulai menguap. Uap alkali ini akan bereaksi dengan gas-gas CO3 (baik dari bahan baku atau dari bahan bakar), CO2 dan klorida membentuk senyawa-senyawa alkali sulfat (Na2SO4 dan K2SO4), alkali karbonat (Na2CO3 dan K2CO3) dan alkali klorida (NaCl dan KCl). Tetapi pada suhu dibawah 7000C sebagian besar garam-garam alkali yang terbentuk akan mengembun dan cairannya akan menempel pada butir-butir umpan tanur membentuk bahan yang bersifat “sticky” (terutama alkali sulfat dan klorida). Bahan yang “sticky” ini dapat menempel pada dinding preheater, sebagian akan ikut terbawa debu meninggalkan preheater dan sebagian lagi terbawa kedalam tanur putar.
2.      Belerang
Seperti halnya alkali, senyawa-senyawa belerang kebanyakan berasal dari bahan baku tanah liat ataupun bahan bakar yang digunakan. Dalam bahan bakar, senyawa belerang umumnya berupa senyawa pirit dan markasit (FeS2) dengan kadar 0,1 %  dinyatakan sebagai SO3. Bahan bakar sendiri, khususnya minyak bunker-C mengandung senyawa belerang dalam bentuk senyawa merasptan (RSH), tiopen (C4H4S) dan lain-lain. Jika jumlah SO3 cukup banyak, maka kelebihan gas SO3 akan bereaksi dengan kalsium karbonat (CaCO3) umpan tanur di preheater membentuk senyawa CaSO4. Senyawa ini kemudian masuk ke dalam tanur bersama lainnya, dan sesampainya di burning-zone sebagian akan terurai.
                        CaSO4                          CaO  +  SO3
SO3 yang terbentuk akan menambah atau meningkatkan sirkulasi belerang. Sebagian CaSO4 lainnya akan terbawa keluar bersama terak. Anhidrat CaSO4 ini daya larutnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan daya larut gypsum, sehingga terak dapat berfungsi sebagai pengatur waktu pengikatan semen. Selain itu, adanya anhidrat CaSO4 menyebabkan jumlah gypsum yang ditambahkan pada penggilingan terak menjadi berkurang. Persyaratan kadar  maksimum SO3 total bukan hanya berasal dari gypsum saja, lebih dari setengah jumlah belerang yang masuk ke dalam proses keluar bersama terak dengan kadar 0,1 – 0,5 % jika dinyatakan sebagai SO3.
3.   Klorida
Kadar senyawa klorida dalam umpan tanur bervariasi antara 0,001 – 0,10 %, sedangkan dalam debu bahan bakar batu bara berkisar 0,4 %. Seperti yang telah dijelaskan di atas, senyawa klorida bereaksi dengan senyawa alkali dalam tanur putar membentuk senyawa alkali klorida. Senyawa ini keluar dari tanur bersama gas hasil pembakaran, dan kemudian mengembun di preheater. Embun alkali klorida bersama umpan tanur masuk kembali kedalam tanur, dan sesampainya di burning-zone hampir semuanya teruapkan, karena pengembunan alkali klorida di preheater cukup sempurna maka senyawa ini akan selalu bersirkulasi ( naik-turun) antara burning-zone dan preheater dengan jumlah yang semakin lama semakin banyak.
Coating yang terbentuk di preheater makin lama makin banyak. Untuk mencegah gas ini, sebagian gas tanur (10 – 25 %) di by-pass dapat diperlukan bila kadar senyawa klorida dalam raw mix melebihi 0,015%. “coating “ adalah massa padat yang terbentuk dan menempel pada suatu permukaan bahan karena adanya daya tarik-menarik antara massa dengan bahan bahan.
2.      Pada pembakaran semen
  1. Kapur bebas (free lime)
Kapur bebas yang terdapat dalam terak atau semen adalah CaO yang tidak bersenyawa atau berikatan dengan oksida-oksida lainnya, SiO2, Al2O3 dan Fe2O3. adanya kapur bebas disebabkan oleh 2 hal sebagai berikut:
a.      Jumlah kapur yang digunakan berlebihan dengan kebutuhan untuk bereaksi dengan SiO2, Al2O3, dan Fe2O3.
  1. Reaksi yang berlangsung dalam tanur putar kurang sempurna. Walaupun CaO sesuai dengan kebutuhan, tetapi tidak dapat bersenyawa dengan oksida-oksida SiO2, Al23, dan Fe2O3. Seperti telah diketahui, proses pembakaran dalam tanur putar berlangsung pada suhu yang tinggi dari suhu disosiasi CaCO3 (896 0C lalu CaO hasil disosiasi dibakar keras (hard-bund). Disamping itu CaO mengkristal dan tercampur bersama kristal-kristal materi lainnya (intercristallised). Kedua kejadian ini menyebabkan CaO yang dihasilkan lambat bereaksi dengan air. Pada waktu semen digunakan, selain reaksi hidrasi senyawa-senyawa mineral potensial juga terjadi hidrasi CaO bebas.
                     CaO + H2O                                Ca(OH)2
Reaksi hidrasi berlangsung lambat sekali, baru selesai pada waktu pengikatan akhir semen sudah terlampaui. Padahal Ca(OH)2 yang terbentuk mempunyai volume lebih besar dari CaO. Pertambahan volume ini (ekspansi) terjadi pada saat semen sudah tidak plastis lagi. Akibatnya timbul keretakan yang dapat merendahkan mutu semen.
2.      Magnesium Oksida, MgO (“periclase”).
Dalam tanur MgCO3 yang terdapat dalam umpan akan terdisosiasi menurut reaksi:                       MgCO3                            MgO + CO2
         MgO yang terbentuk tidak bereaksi dengan oksida-oksida utama seperti SiO2, Al2O3, dan Fe2O3, sebagian akan terlarut dalam mineral-mineral potensial terak sebagian lagi membentuk kristal perisicle. Seperti halnya CaO bebas, perisicle juga terkena hard-bund. Akibat reaksinya perisicle dengan air berjalan sangat lambat dan pada suhu kamar akan berlangsung terus dalam jangka waktu setahun. Pertambahan volume akibat terbentuknya Mg(OH)2, seperti halnya Ca(OH)2 akan menyebabkan keretakan-keretakan (cracking) pada semen yang digunakan.
Bentuk relative senyawa-senyawa silikat yang relatif dalam agregant, akan bereaksi dengan senyawa-senyawa alkali semen. Hasil reaksi berupa gel alkali silikat dapat menyebabkan terjadinya pemuaian ataupun keretakan-keretakan pada beton. Proses pemuaian ini berlangsung lambat dan pengaruhnya baru terlihat dalam jangka waktu 1 tahun.
3.1.7.      Proses Pembuatan Semen
Proses pembuatan semen ada 2 (dua) macam yaitu:
A.    Proses Basah
Disebut proses basah karena campuran bahan baku mulai dari proses penggilingan sampai masuk ke dalam tanur putar berupa luluhan dengan kadar air sekitar 30-40%.
Adapun keuntungan dari proses basah :
-          Komposisi umpan sangat homogen
-          Debu yang keluar sangat sedikit
-          Peralatan untuk feeding, sampling, penyimpanan, transport bahan dan alat untuk homogenisasi lebih murah.
Adapun kerugian dari proses basah :
-          Banyak memerlukan air
-          Sangat korosif dipipa-pipa, digrinding media dan rantai kiln
-          Kebutuhan bahan bakar relative banyak
-          Kiln yang digunakan sangat panjang
B.     Proses kering
Disebut proses kering karena campuran bahan baku mulai dari proses penggiling sampai masuk ke dalam tanur putar ( Raw Mill) dengan kadar air kurang dari 1%.
Adapun keuntungan dari proses kering yaitu :
-    Pemakaian kalori bahan bakar rendah (700-800 kkal/kg klinker)
-    Tanpa putar lebih pendek
Adapun kerugian dari proses kering yaitu :
-    Biaya untuk alat operasi, tempat penyimpanan, alat homogenisasi sangat mahal
-    Banyak diperlukan alat penangkap debu dan menimbulkan polusi.
-    Campuran kurang homogeny.
3.1.8.      Proses Pembuatan Semen PT. Semen Tonasa
A.    Pemecahan/Crushing
Batu kapur yang berasal dari quarry mengalami dua tahap proses penghancuran, yakni dengan primary crusher dan secondary crusher. Batu kapur yang keluar dari primary crusher berukuran lebih kecil dari 125 mm dan setelah melawati secondary crusher berukuran lebih kecil dari 80 mm. Bersamaan dengan itu, di lain pihak tanah liat yang berasal dari Ammessanggeng/ Bunga Eja juga mengalami proses penghancuran. Material batu kapur dan tanah liat yang telah dihancurkan dicampur dalam mix crusher selanjutnya ditampung dalam mix pile strorage.
Disamping itu, bahan-bahan korektif seperti pasir silika dan pasir besi juga mengalami proses penghancuran terlebih dahulu sebelum ditampung di additive strorage. Untuk mengantisipasi kekurangan batu kapur dalam proses penggilingan maka di additive strorage juga tersedia batu kapur murni yang juga melewati dua tahap penghancuran.
Semua material yang ada dalam gudang penyimpanan tersebut ditampung didalam empat bin masing-masing untuk memudahkan pengontrolan komposisi pengumpanan pada saat diumpankan ke dalam Raw Mill untuk proses penggilingan. Komposisi material yang diumpankan ke dalam Raw Mill diatur sesuai rekomendasi Quality Assurance dan Control Departement.
B.     Penggilingan/homogenisasi
Di dalam Raw Mill semua material yang diumpankan mengalami proses penggilingan material-material yang sangat halus (berbentuk tepung baku). Disamping mengalami proses penggilingan, material yang ada di Raw Mill juga mengalami proses pengeringan (karena adanya kontak langsung dengan gas tinggi yang keluar dari tanur bakar) sampai kandungan airnya maksimal 1%.
Material tepung yang keluar dari Raw Mill ditampung di dalam Blending Silo dan mengalami proses homogenisasi sebelum diumpankan ke dalam tanur (rotary kiln). Material tepung (raw meal) yang keluar dari Blending Silo dan siap untuk diumpan ke dalam tanur bakar (kiln) disebut Kiln feed.
C.     Pembakaran
Kiln feed mula-mula mengalami pemanasan awal preheater yang dilengkapi dengan dua buah calsiner (ILC dan SLC) sehingga Kiln Feed mengalami proses kalsinasi antara 85-95% di dalam kedua kalsiner tersebut. Setelah mengalami proses kalsinasi (pelepasan CO2), material akan melewati masa transisi (reaksi antara oksida-oksida penyusun senyawa klinker) kemudian dilanjutkan dengan proses klinkernisasi (perubahan fase dari padat ke fase cair untuk membentuk senyawa-senyawa klinker yang lebih lanjut). Proses ini berlanjut pada suhu tinggi ± 14500C. Senyawa-senyawa utama pembentukan klinker dapat dilihat pada table 3.8:
Tabel 3.8 Senyawa-senyawa utama pembentukan klinker
Senyawa
Rumus
Singkatan
Nama Lain
Mineral Potensial :
Trikalsium Silikat
Dikalsinasi Silikat
Trikalsium Aluminat
Tetrakalsium Alumino ferrit

3CaO.SiO2
2CaO.SiO2
3CaO.Al2O3
4CaO.Al2O3.Fe2O3

C3S
C2S
C3A
C4AF

Alite
Belite
-
Ferrite


Karena tingginya suhu dalam tanur putar, maka terjadilah reaksi-reaksi kimia antara senyawa-senyawa yang terdapat dalam kiln feed. Reaksi-reaksi tersebut berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat suhu yang dilalui bahan dalam kiln (Tabel 3.9).
Tabel 3.9 Reaksi Pembentukan Klinker
Suhu (oC)
Proses
Reaksi
<200
Pelepasan air bebas

100-400
Pelepasan air Kristal pada tanah liat

400-900
Penguraian metabolinit dan senyawa-senyawa lainnya membentuk oksida-oksida reaktif
Al2O3.SiO2       Al2O3+2SiO2
600-1300
Penguraian batu kapur (kalsinasi) dan terbentuknya CaO.SiO2(CS) dan CaO, Al2O3.

Pengikatan CaO oleh CS dan CA serta terbentuknya 4CaO, Al2O3, Fe2O3.
CaCO3            CaO dan CO2
2CaO+SiO2+Al2O3          CS+CA
3CaO+CA+Fe2O3         C4AF
2CaO+CA          C3A
CaO+CS          C2S
1200-1450
Pengikatan lebih lanjut CaO oleh C2S
CaO+C2S          C3S
     
A.    Pengeringan
Proses pelepasan air bebas yang terkandung dalam kiln feed (0,5-1,0%), disebut proses pengeringan.Proses ini berlangsung pada suhu sampai 200C, air yang terabsorpsi oleh mineral-mineral tanah liat mulai terlepas. Kemudian pada suhu yang lebih tinggi lagi air-air yang terikat secara kimia (air kristal) atau yang terbentuk gugus hidroksida juga mulai terlepas. Pada suhu yang lebih tinggi mineral-mineral yang sudah kehilangan air kristal atau gugus hidroksinya akan terurai menjadi oksida-oksida yang sifatnya reaktif.
B.     Reaksi Dekomposisi Senyawa klinker (Dekarbonasi)
Senyawa kalsium karbonat yang jumlahnya dalam kiln feed 75-80%, secara teoritis akan terurai (Terdekomposisi) pada suhu mulai 500-1000 oC
       CaCO3                              CaO+CO2
C.     Reaksi Dekomposisi Senyawa Alumina – silikat
Suhu 896oC keatas adalah suhu  terdekomposisinya kalsinat murni (CaCO3) tetapi juga senyawa-senyawa lain, maka dalam kenyataannya dekomposisi sudah mulai berlangsung antara 660C-950o C. Hal ini dapat terlihat dari terjadinya reaksi dalam fase padat antara CaO dengan SiO2, Al2O3, dan Fe2O3  membentuk misalnya
-          CaO.Al2O3(CA)
-          12CaO.Al2O3(C12A)
-          CaO.SiO2 (CS)
-          2CaO.SiO2(C2S)
G.    Reaksi Fase Padat
Pada suhu sekitar 550-1200oC, reaksi-reaksi tersebut diatas berlanjut tetap dalam fasa padat ,membentuk senyawa-senyawa dengan kadar CaO yang lebih tinggi,seperti:
-    3CaO.Al2O3(C3A)
-    4CaO.Al2O3(C4AF)
Reaksi-reaksi ini berlangsung sangat lambat.
H.    Reaksi Sinterisasi atau Klinkerisasi
Cairan atau lelehan pertama yang berasal dari kiln feed terbentuk pada suhu antara 1280-14500C. Pembentukan cairan ini merupakan titik awal dari proses “klinkerisasi” pada waktu pertama kali terbentuk cairan, ternyata CaO dan C2S lebih mudah terdifusi kedalam fase cair tersebut dan bereaksi membentuk C3S yang mengkristal.
                           CaO+2CaO.SiO2                       3CaO.SiO2
                                  (C2S)                                       (C3S)
I.       Pendinginan Klinker
Agar mutu semen yang dihasilkan baik maka klinker perluntuk didinginkan. Keuntungan dari pendinginan klinker ini antara lain:
-          Panas yang terkandung dalam klinker dapat dihemat sebesar kurang lebih 200 kkal /kg klinker
-          Proses penggilingan semen dapat berlangsung lebih baik sebab kemungkinan terjadinya dehidrasi gypsum dapat dikurangi
Pendingin klinker dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut seperti :
-          Klinker disiram dengan air atau disemprot dengan udara pada waktu keluar dari tanur putar.
-          Klinker didinginkan dengan bantuan alat-alat khusus seperti misalnya: rotary cooler, planetary cooler dan grate cooler.
Bersama – sama dengan sejumlah gypsum, terak  lalu digiling dalam finish mill menjadi semen. Semen hasil penggilingan kemudian disimpan ke dalam silo – silo semen pada suhu  80­0 C. Semen di dalam  silo siap untuk dikantongkan untuk diangkut ke pelabuhan selanjutnya didistribusikan kepada konsumen.
3.1.9   Sifat – sifat Semen
Sifat – sifat semen terbagi atas 2 bagian yaitu Sifat Fisika dan Sifat kimia semen, yaitu :
v Sifat – sifat fisika semen:
1.      Panas Hidrasi semen
Panas Hidrasi dari komponen semen bersifat eksotermis, sehingga pada saat proses hidrasi berlangsung, akan melepaskan sejumlah panas. Panas hidrasi dari masing – masing komponen penyusun semen dapat dilihat pada table 3.10.
Tabel 3.10 Panas Hidrasi komponen Penyusun Semen
No
Komponen
Panas Hidrasi, Joule/g
1
C3S
503
2
C2S
260
3
C3A
867
4
C4AF
419

Dari tabel atas menunjukkan bahwa semen yang kaya akan C3S dan C3A mempunyai panas hidrasi yang tinggi, atau sebaliknya. Berdasarkan pengalaman, panas hidrasi dapat dihitung dari panas hidrasi masing – masing komponen penyusun dengan menggunakan persamaan :
                        Qh = a(C3S)+b(C2S)+c(C3A)+d(C4AF)
Dengan :
Qh            = Panas Hidrasi Semen          
a,b,c,d      = Panas hidrasi masing – masing komponen
(C3S)        =  Fraksi C3S di dalam semen.
(C2S)        = Fraksi C2S di dalam semen.
(C3A)       = Fraksi C3A di dalam semen.
(C4AF)     = Fraksi C4AF di dalam semen.
Tetapi pada prakteknya terdapat perbedaan  hasil dengan pengukuran karena adanya impurities di dalam semen yang mempengaruhi panas yang dihasilkan selama proses hidrasi berlangsung. Biasanya panas hidrasi semen tipe 1 bervariasi antara 420 sampai 500 joule/gram. Berlangsungnya proses hidrasi dapat digambarkan sebagai berikut :
Anhidrat (padatan) + Air ­                      Hidrat (padatan) + panas
Dengan urutan proses :                                    
·         Pemadatan/solidifikasi (pengikatan air)
·         Pembentukan fase baru (hidrat)
·         Penambahan volume pada fase padatan
·         Pengeluaran panas
Yang paling penting dalam pengontrolan panas hidrasi adalah pengontrolan komposisi klinker, dimana yang potensial mengeluarkan panas hidrasi tinggi pada saat proses hidrasi berlangsung adalah C3S dan C3A. Oleh karena itu untuk menghasilkan semen dengan  panas hidrasi rendah diperlukan  klinker dengan  kandungan C3S dan C3A yang rendah pula.
2.      Kuat Tekan Semen.
Kuat tekan  semen  salah  satunya ditentukan oleh komponen penyusun, terutama oleh kalsium silikat. Pada pengembangan kuat tekan awal (misalnya sampai umur 28 hari), didominasi oleh hidrasi C3S yang didukung oleh C3A. Untuk C2S dan C4AF akan memberikan  kontribusi terhadap kuat tekan  untuk umur yang lebih lama. Selain itu yang mempengaruhi pengembangan kuat tekan adalah kehalusan semen terhadap pengembangan kuat tekan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pengembangan  kuat tekan semen berasal dari pengembangan kuat tekan  masing – masing komponen  penyusun semen. Secara statistik, kuat tekan semen dapat diperkirakan dengan mencari persamaan hubungan antara variabel yang berpengaruh terhadap kuat tekan semen dengan regresi linear variabel yaitu:
            P = a(C3S) + b(C2S) + c(C3A) + d(C4AF) + e(FcaO) + .......
Dengan :
P                = kuat tekan
a,b,c,....      = konstanta regresi multi variabel
C3S,C2S,... = Fraksi Komponen   
3.      Shrinkage ( Pengerutan )
Pengaruh komposisi kimia semen terhadap shrinkage tidak diketahui secara pasti. Gonnerman menemukan C3S dan C2S mempunyai tingkat pengaruh yang sama terhadap terjadinya peristiwa shrinkage, sedangkan menurut Roper, naiknya kandungan C3A akan mengakibatkan shrinkage menjadi lebih besar. Pengaruh C3A terhadap shrinkage ini dipengaruhi oleh besarnya kadar gypsum dalam semen, dengan kata lain semen yang mempunyai kandungan C3A sama akan mengakibatkan shrinkage yang berbeda bila kandungan gypsumnya berbeda.
Untuk pengaruh dari elemen yang lain dalam semen seperti kehalusan, distribusi ukuran partikel, dan lain – lainnya diketahui secara pasti.
4.      Ketahanan Terhadap Sulfat (Durability)
Salah satu hal penting dalam penggunaan semen dalam struktur beton adalah ketahanan terhadap sulfat. Komponen penyusun semen yang mempengaruhi terhadap ketahanan terhadap sulfat adalah C3A. Pada saat terjadi proses hidrasi semen, C3A akan bereaksi dengan sulfat dan air membentuk ettringite. Ettringite ini mempunyai volume yang lebih besar dibandingkan volume komponen penyusunnya sehingga bila berlebihan mengakibatkan terjadinya ekspansi yang dapat menyebabkan kerusakan pada struktur beton.
Pada proses hidrasi semen dihasilkan juga Ca(OH)2 yang akan bereaksi dengan sulfat yang menghasilkan kalsium alumina hidrat. Reaksi ini juga mengakibatkan pengembangan volume. Reaksi pembentukan calsium alumina hidrat dan ettringite adalah sebagai berikut :
 Ca(OH)2 + (SO4)2- + 2H2O               CaSO4.2H2O + 2NaOH
3CaSO4.2H2O + 4CaO.Al2O3.19H2O     3CaO.Al2O3.3CaSO4.­31H2O + Ca(OH)2.
                                                                                        Ettringitt  
Ettringitte juga terbentuk sebagai hasil reaksi antara C4AF dengan sulfat, tetapi lebih kecil bila dibandingkan dengan C3A. Dari uraian diatas, maka semen yang tahan terhadap sulfat (semen type V) kandungan C3A-nya dibatasi maksimum 5 %.
5.      Soundness.
Soundness didefinisikan sebagai kemampuan pasta semen yang mengeras untuk mempertahankan volumenya setelah proses pengikatan berakhir. Kestabilan volume ini dapat terganggu karena adanya CaO bebas (free lime) dan MgO bebas (periclase) yang berlebihan (mengakibatkan ekspansi). Reaksi – reaksi yang mengakibatkan terjadinya ekspansi adalah :
Ø   C3A + SO3 + H2O
Hidrasi C3A mengakibatkan terbentuknya ettringitte selama ion sulfat masih ada (dari gypsum) dan berhenti saat gypsum dalam semen habis. Bila kandungan sulfat dalam semen terlalu besar, berakibat proses pengerasan yang bertambah lama dan ekspansi yang dapat menimbulkan keretakan.
Ø   CaO bebas + H2O
CaO bebas (free lime) sangat reaktif dengan air, sehingga selama proses penggilingan maupun penyimpanan, CaO bebas yang ada akan mengikat air dari udara. Meskipun demikian, CaO bebas akan bereaksi dengan cepat pada saat air ditambahkan ke dalam semen dan volume akhir reaksi lebih besar bila di bandingkan sebelum reaksi.
Ø   MgO bebas + H2O
         Efek adanya MgO bebas dan reaksi yang terjadi sama dengan efek adanya CaO bebas, tetapi pada reaksi MgO bebas ini dihasilkan volume yang jauh lebih besar bila dibandingkan reaksi CaO bebas.
Penentuan nilai Soundness semen dapat dilakukan dengan mengukur ekspansi pada autoclave, Past test atau metode Le Chatelier.
6.      Waktu pengikatan.
Waktu pengikatan adalah waktu yang dibutuhkan oleh pasta semen dari mulai di tambahkan air sampai didapatkan semen yang keras dan tidak dapat di bentuk lagi. Periode waktu pengikatan ini dapat dibagi menjadi 4 yaitu dormant periode, initial set (pengikatan awal), final set (pengikatan akhir), dan hardening (pengerasan).
Campuran semen dengan air akan membentuk adonan yang bersifat kenyal dan dapat di bentuk (workable). Untuk beberapa saat sifat pasta tidak dapat berubah. Periode ini dikenal dengan periode tidak aktif (dormant periode). Pada tahap selanjutnya, pasta yang terbentuk menjadi semakin kaku hingga mencapai tingkat dimana pasta tetap lunak, tetapi sudah tidak dapat dibentuk lagi. Periode ini disebut inital set,sedang waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkatan ini disebut initial setting time(waktu pengikatan awal). Selanjutnya pasta menjadi semakin kaku menjadi semakin padatan yang keras dan etas (rigid). Tahap ini disebut final set dan waktu yang di butuhkan untuk mencapai tingkatan ini disebut final setting time (waktu pengikatan akhir). Proses ini berlanjut terus hingga pasta semen menjadi semakin keras dan kuat yang disebut dengan pengerasan atau hardening.
7.      Konsistensi
Konsistensi didefenisikan sebagai kemampuan pasta semen untuk mengalir. Pada pengujian, konsistensi ditunjukkan dengan penetrasi jarum vicat sebesar 10±1 mm. Sifat ini digunakan untuk mengatur perbandingan antara jumlah air dengan semen pada saat pembuatan pasta semen.
v  Sifat – sifat kimia semen
Beberapa sifat kimia yang penting dalam diskusi persemenan antara lain:
1.         Loss on Ignition (LOI)
LOI menyatakan bagian dari zat yang akan terbebaskan sebagai gas pada saat terpanaskan atau dibakar (temperatur tinggi). Pada bahan baku umpan kiln ini berarti bahwa semakin tinggi LOI-nya maka semakin sedikit umpan kiln yang menjadi produk klinker. Oleh karena itu, LOI bahan baku maksimal di persyaratkan untuk mengurangi in-efisiensi proses karena adanya mineral – mineral yang dapat diuraikan pada saat pembakaran. Komponen utama LOI adalah uap air yang berasal dari kandungan air (moisture) dalam bahan baku (raw mix) dan gas CO2 yang akan dihasilkan dari proses kalsinasi CaCO3.
2.         Insoluble Residue
Yaitu impuritis/zat pengotor yang tetap tinggal setelah semen tersebut direaksikan dengan asam khlorida (HCl) dan natrium karbonat(Na2CO3). Insoluble residue dibatasi untuk mencegah tercampurnya semen Portland dengan bahan – bahan alami lainnya yang tidak dapat dibatasi dari persyaratan fisika
3.         Modulus – modulus Semen
Modulus – modulus semen digunakan sebagai dasar untuk menentukan jenis semen yang akan diproduksi dan digunakan untuk menghitung perbandingan bahan baku yang dipakai.
a)      Hydraulic Modulus (HM)
Modulus ini menunjukkan perbandingan antara CaO dengan ketiga oksida lainnya yang dirumuskan:
Batasan nilai HM adalah 1,7-2,3, pengaruh nilai HM terhadap proses dan kualitas semen adalah sebagai berikut:
§  Pengaruh HM >2,3
kiln feed suklit dibakar, kebutuhan energi tinggi. Karakteristik semen yang dihasilkan adalah mempunyai kadar CaO bebas cenderung tinggi, kuat tekan awal dan panas hidrasi tinggi, tidak tahan terhadap senyawa asam dan stabilitas volume yang rendah.
§   Pengaruh HM <1,7
Kiln feed mudah dibakar, kebutuhan energi rendah.
Karakteristik semen yang dihasilkan adalah mempunyai kadar CaO bebas rendah, kuat tekan rendah.
b)      Faktor penjenuhan kapur/lime saturation factor (LSF)
Faktor penjenuhan kapur adalah nilai yang menunjukkan perbandingan CaO maksimum teoritis yang dapat mengikat senyawa–senyawa SiO2, Al2O3,dan Fe2O3. Perhitungan LSF didasarkan pada anggapan kondisi pembakaran klinker yang optimal, homogenisasi tepung baku baik dan CaO bebas pada klinker sama dengan nol, yang dirumuskan:
           
Batasan nilai LSF adalah 90-99 pengaruh nilai LSF terhadap proses dan kualitas semen adalah sebagai berikut:
Pengaruh LSF > 99
Ø  Kiln feed sulit dibakar, kebutuhan energi tinggi.
Ø  Sulit membentuk coating, sehingga panas hidrasi yang hilang dari dinding tanur naik.
Ø  Temperatur gas keluar tanur naik
Ø  Kadar CaO bebas cenderung naik
Ø  Kadar C3S naik, sehingga kuat tekan awal dan panas hidrasi naik.
Ø  Batu bara yang tinggi.
Ø  Biasanya digunakan untuk mengantisipasi kadar abu dan komposisi kimia kadar abu batu bara yang tinggi.
Pengaruh LSF <90
Ø  Kiln feed mudah dibakar, kebutuhan energi rendah.
Ø  Fase cair di burning zone berlebih, cenderung membentuk ring dan coating washing
Ø  Klinker berbentuk bola-bola dan sulit dingin.
Ø  Kadar CaO bebas rendah.
Ø  Kadar C3S turun dan kadar C2S naik secara proporsional.
Ø  Panas hidrasi semen cenderung rendah.
c)      Silika Modulus (SM)
Silika modulus adalah nilai yang menunjukan perbandingan antara jumlah SiO2  terhadap jumlah Fe2O3 dan Al2O3. Modulus silika dapat dinyatakan dengan persamaan berikut ini:
SM=
Batasan nilai SM adalah 1,9-3,2. Pengaruh nilai SM terhadap proses dan kualitas semen sebagai berikut:
Pengaruh SM >3,2
Ø  Kiln feed sulit dibakar dan memerlukan energi tinggi.
Ø  Fase cair rendah, thermal load tinggi, terak dusty dan kadar CaO bebas cenderung tinggi.
Ø  Sifat coating tidak stabil. Coating yang terbentuk tidak tahan terhadap thermal shock sehingga radiasi dan dinding tanur tinggi.
Ø  Merusak bata tahan api.
Ø  Memperlambat pengerasan semen.
Ø  Kuat tekan semen cenderung tinggi.
Pengaruh SM < 1,9
Ø  Selalu membentuk ring.
Ø  Klinker terbentuk bola dan sulit dingin.
Ø  Waktu pengikatan semen pendek dan panas hidrasi naik.
Ø  Kuat tekan awal semen (3-7 hari) rendah.
Ø  Tanur tidak stabil, kebutuhan energi rendah.
Ø  Mudah dibakar, fase cair tinggi, dapat merusak bata tahan api.
d)     Aluminium Modulus (AM) atau Iron Modulus (IM)
Alumina Modulus atau Iron Modulus adalah perbandingan antara Al2O3 dan Fe2O3. Nilai Alumina modulus/ iron Modulus dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :
IM = AM =
Batasan nilai IM/AM adalah 1,5-2,5, pengaruh nilai IM/AM terhadap proses dan kualitas semen adalah sebagai berikut :
Pengaruh IM > 2,5
Ø  Kiln feed sulit dibakar.
Ø  Viskositas fase cair pada temperatur tetap akan naik.
Ø  Semen yang dihasilkan mempunyai kuat tekan awal tinggi, waktu pengikatan pendek, panas hidrasi tinggi, ketahanan terhadap sulfur rendah.
Ø  Kadar C3A naik, C4AF turun,sedangkan C3S dan C2S rendah.
Pengaruh IM <1,5
Ø  Fase Cair mempunyai viskositas rendah.
Ø  Semen yang dihasilkan mempunyai ketahanan terhadap sulfat tinggi, kuat awal rendah dan panas hidrasi rendah.
Ø  IM yang rendah dan tidak adanya SiO2 bebas dalam kiln feed menyebabkan terak menjadi lengket dan membentuk bola – bola besar.
Selain mengandung senyawa yang diperlakukan, kiln feed juga mengandung senyawa yang tidak diinginkan. Kadar senyawa tersebut harus dibatasi sekecil mungkin. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari gangguan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa tersebut,baik selama proses pembuatan semen maupun pada saat semen tersebut digunakan.

3.2       Teori  Ash
3.2.1        Definisi  Ash
Ash atau abu sesuai yang tercantum dalam “Condensed Chemical Dictionary” adalah serbuk abu yang sangat halus yang dihasilkan dari sisa pembakaran batubara bubuk.
Ash juga adalah  hasil samping dari pembakaran batubara di boiler Pembangkit Listrik  Tenaga Uap (PLTU). Kecenderungan dewasa ini akibat naiknya harga minyak diesel  industri, maka banyak pembangkit listrik yang beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam menghasilkan steam (uap). Sisa hasil pembakaran dengan batubara menghasilkan abu yang disebut dengan fly ash dan bottom ash (5-10%). Presentase abu (fly ash dan bottom  ash) yang dihasilkan adalah fly ash (80%-90%) bottom ash (10%-20%). Pembakaran batubara akan menghasilkan abu, gas-gas oksida belerang (SOX), oksida nitrogen (NOX), gas hidrokarbon, karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2).
Fly Ash merupakan campuran dari senyawa alumina, silika, karbon yang tidak terbakar dan bermacam-macam oksida logam, yang mempunyai sifat pozolanik, yaitu sifat dari bahan tertentu dimana bahan tersebut dapat bereaksi dengan kapur bebas dan membentuk suatu ikatan seperti semen dengan adanya air, pada suhu kamar.
3.2.2        Sifat Fly Ash
Abu terbang atau yang biasa kita sebut dengan fly ash memiliki sifat pozzolan yang terdiri dari unsur-unsur silikat dan atau aluminat yang reaktif. Komposisi kimia masing-masing jenis abu terbang sedikit berbeda dengan komposisi kimia semen.
Abu batubara adalah bagian dari sisa pembakaran batubara pada boiler pembangkit listrik tenaga uap yang berbentuk partikel halus amorf dan bersifat Pozzolan, berarti abu tersebut dapat bereaksi dengan kapur pada suhu kamar dengan media air membentuk senyawa yang bersifat mengikat. Dengan adanya sifat pozzolan tersebut abu terbang mempunyai prospek untuk digunakan berbagai keperluan bangunan.
Abu terbang sepertinya cukup baik untuk digunakan sebagai bahan ikat karena bahan penyusun utamanya adalah silikon dioksida (SiO2), alumunium (Al2O3) dan Ferrum oksida (Fe2O3). Oksida-oksida tersebut dapat bereaksi dengan kapur bebas yang dilepaskan semen ketika bereaksi dengan air. Clarence (1966: 24) menjelaskan dengan pemakaian abu terbang sebesar 20 – 30% terhadap berat semen  maka jumlah semen akan berkurang secara signifikan dan dapat menambah kuat tekan beton. Pengurangan jumlah semen akan menurunkan biaya material sehingga efisiensi dapat ditingkatkan.
Secara fisik sifat-sifat fly ash adalah :
-          kehalusannya tinggi
-          bentuk butir bulat
-          tidak porous
Fly ash juga mengandung racun-racun lingkungan dalam jumlah yang banyak, termasuk arsenik (43,4 ppm); barium (806 ppm); berilium (5 ppm); boron (311 ppm); kadmium (3,4 ppm); kromium (136 ppm); krom VI ( 90 ppm); kobalt (35,9 ppm); tembaga (112 ppm); fluor (29 ppm); mangan (250 ppm); nikel (77,6 ppm); selenium (7,7 ppm); strontium (775 ppm ); talium (9 ppm); vanadium (252 ppm), dan seng (178 ppm).
3.2.3        Spesifikasi Fly Ash
Spesifikasi kimia abu terbang atau yang lebih dikenal dengan fly ash berkisar sebagai berikut:
3.2.4        Kandungan  Ash
Komponen – komponen pada fly ash batubara bergantung pada sumber dan susunan batubara. Komponen fly ash sangat bervariasi mulai dari sejumlah besar silikon dioksida (SiO2), Kalsium Dioksida (CaO) dan sejumlah kecil unsur-unsur lain seperti arsenik, berilium, boron, kadmium, kromium, kromium VI, kobalt, timah, mangan, raksa, molibdenum, selenium, strontium, talium, dan vanadium.
Fly ash batubara adalah material solid yang biasanya berbentuk bulat dan berdiameter berkisar antara 0,5 μm sampai 100 μm. Mereka sebagian besar terdiri dari silikon dioksida (SiO2), yang hadir dalam dua bentuk: amorf, yang bulat dan halus, dan kristal, yang tajam, runcing dan berbahaya; aluminium oksida (Al 2O3) dan oksida besi (Fe2O3).
Tabel. Komposisi kimia berbagai jenis abu terbang





Sumber: Ratmaya Urip, 2003

3.2.5        Pengelompokan Fly Ash
ASTM (America Standar Testing of Material) mendefinisikan  jenis fly ash terbagi menjadi kelas F dan kelas C. Perbedaan antara keduanya terletak pada kandungan kalsium, silika, dan alumina serta unsur-unsur besi lainnya.
·      Kelas F fly ash
 Pembakaran lebih keras, lebih tua batubara antrasit dan bitumen biasanya menghasilkan Kelas F fly ash. Ini fly ash adalah pozzolanic di alam, dan mengandung kurang dari 10% kapur (CaO). Pozzolanic memiliki properti, yang berkaca-kaca silika dan alumina Kelas F fly ash membutuhkan penyemenan agen, seperti semen portland, kapur, atau kapur terhidrasi, dengan kehadiran air untuk bereaksi dan menghasilkan senyawa cementitious. Atau, penambahan penggerak kimia seperti natrium silikat (gelas air) ke Kelas F abu dapat mengarah pada pembentukan geopolymer.
·      Kelas C fly ash
Fly ash yang dihasilkan dari pembakaran lebih muda subbituminous lignit atau batu bara, selain memiliki sifat pozzolanic, juga memiliki beberapa sifat memperkuat diri. Dengan keberadaan air, Kelas C fly ash akan mengeras dan memperoleh kekuatan dari waktu ke waktu. Kelas C fly ash umumnya mengandung lebih dari 20% kapur (CaO). Berbeda Kelas F, diri penyemenan fly ash Kelas C tidak membutuhkan penggerak. Alkali dan sulfat (SO 4) isinya umumnya lebih tinggi di Kelas C terbang abu.
Setidaknya satu produsen AS telah mengumumkan fly ash bata yang mengandung hingga 50 persen Kelas C fly ash. Pengujian menunjukkan batu bata memenuhi atau melebihi standar kinerja yang tercantum dalam ASTM C 216 bata tanah liat konvensional, melainkan juga dalam batas penyusutan yang dibolehkan bata beton dalam ASTM C 55, Standar Spesifikasi Bangunan Bata Beton. Diperkirakan bahwa metode produksi yang digunakan dalam fly ash batu bata akan mengurangi energi yang terkandung batu konstruksi hingga 90%.
Dalam  SNI 03-6863-2002 (2002: 146) spesifikasi abu terbang sebagai bahan tambah untuk campuran beton disebutkan ada 3 jenis abu terbang, yaitu;
·      Abu terbang jenis N, ialah abu terbang hasil kalsinasi dari pozolan alam, misalnya tanah diatomite, shole, tuft dan batu apung.
·      Abu terbang jenis F, ialah abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran batubara jenis antrasit pada suhu kurang lebih 1560°C.
·      Abu terbang jenis C, ialah abu terbang hasil pembakaran ligmit/batubara dengan kadar karbon sekitar 60%. Abu terbang jenis ini mempunyai sifat seperti semen dengan kadar kapur di atas 10%.

4            Penggunaan Fly Ash
Dengan sifat dan  karakteristik dari fly ash batubara, maka fly Ash dapat digunakan untuk  berbagai macam  keperluan  seperti:
·         Fly ash clay brick
·         Konstituen dalam semen Portland
·         Pengganti semen dalam concrete
·         Pengganti semen dalam produk concrete
·         Sebagai pozolan dalam Semen Portland Pozolan
·         Sebagai pozolan dalam stabilisasi tanah (soil stabilization)
·         Sebagai grouping agent dalam Oil Well Cement
·         Raw Material untuk ligthweight agregate
·         Filler dalam aspalt paving
·         Sebagai pengisi untuk land development atau compacted embankments Lain-lain, yaitu, absorbent pada oil spilt (silicone-coated), pengganti lime untuk scrubbing sulfur dari flue gas, sebagai filler dalam plastik, katalis untuk liquifaction batubara dan lain-lain.
 
BBMD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar